REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Jepang terus meningkatkan alokasi anggaran untuk pertahanan. Kucuran yang tidak biasa ini tidak dipungkiri berasal dari ketakutan atas kondisi yang berkembang saat ini, mulai dari invasi Rusia ke Ukraina, ketegangan dengan Cina, hingga uji coba senjata oleh Korea Utara.
Pengajuan terbaru yang dilakukan oleh Kementerian Pertahanan Jepang sebesar 7,7 triliun yen atau 52,67 miliar dolar AS untuk tahun fiskal 2024 saja. Dana besar yang disiapkan untuk pertahanan ini tidak terlepas dari rencana Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida untuk meningkatkan pengeluaran militer sebesar 43 triliun yen selama lima tahun. Rencana besar ini diumumkan pertama kali pada 2022.
Kucuran anggaran yang tidak biasa di pemerintahan sebelumnya ini bertujuan untuk melipatgandakan belanja pertahanan menjadi 2 persen dari produk domestik bruto pada 2027. Secara keseluruhan, permintaan fiskal 2024 yang diajukan ke Kementerian Keuangan menambah hampir 1 triliun yen terhadap anggaran tahun sebelumnya sebesar 6,8 triliun yen, meningkat sekitar 13 persen.
Jika disetujui, anggaran tersebut akan meningkatkan pengeluaran sekitar satu triliun yen dibandingkan tahun sebelumnya selama dua tahun berturut-turut yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Kementerian Pertahanan berencana mengalokasikan lebih dari 900 miliar yen untuk amunisi dan senjata, termasuk rudal pertahanan udara berbasis kapal baru, sesuai dengan permintaan anggaran. Sekitar 600 miliar yen akan digunakan untuk memperkuat kemampuan logistik guna mengerahkan senjata dan sumber daya ke rangkaian pulau di barat daya selama keadaan darurat.
Anggaran tersebut mencakup pendanaan untuk tiga kapal pendarat baru, dengan total 17 miliar yen. Sedangkan, lebih dari 300 miliar yen untuk 17 helikopter angkut dan tim transportasi khusus baru untuk meningkatkan kemampuan penempatan.
Jepang juga akan mengalokasikan 75 miliar yen untuk bersama-sama mengembangkan rudal pencegat dengan Amerika Serikat (AS) untuk melawan hulu ledak hipersonik. Sebesar 64 miliar yen untuk membangun jet tempur generasi berikutnya dengan Inggris dan Italia.
Pembelanjaan pertahanan yang dilakukan sekutu setia AS ini terjadi setelah beberapa dekade menerapkan kebijakan pasifis. Agresi Jepang sebelum dan selama Perang Dunia II masih menjadi penyebab ketegangan hubungan dengan beberapa negara di Asia.
Jepang telah memberikan jaminan bahwa kekuatan militernya yang semakin besar tidak akan digunakan untuk mengancam negara lain. Jepang menyatakan akan tetap memprioritaskan upaya diplomasi dan dialog untuk menghindari kesalahpahaman.
Peningkatan anggaran pertahanan itu mulai muncul ketika kekhawatiran atas ambisi maritim dan ketegasan militer Cina, terutama atas Taiwan, Korea Utara yang semakin agresif dan bersenjata lengkap, serta invasi Rusia ke Ukraina. Kondisi berbeda itu telah mengubah pola pikir Jepang.
Kishida menyebut invasi Rusia ke Ukraina sebagai peringatan akan ancaman yang dihadapi Jepang dan negara-negara Asia Timur lainnya akibat semakin termiliterisasinya Cina. Investasi militer bersejarah Jepang yang dibingkai ulang Kishida untuk meningkatkan belanja pertahanan merupakan hal yang signifikan.
Jepang memang memiliki kekuatan pertahanannya sendiri, dan anggaran pertahanannya meningkat setiap tahun selama sembilan tahun terakhir. Sebagai perbandingan dengan 2024, pada tahun fiskal 2023, pemerintahan Kishida menyetujui peningkatan anggaran sebesar 26,3 persen, sehingga usulan belanja pertahanan menjadi 6,82 triliun yen atau 51,4 miliar dolar AS.
Pada 2023, pemerintah berencana untuk membeli delapan pesawat tempur multiperan F-35A Lightning II dan delapan pesawat tempur multiperan F-35B Lightning. Armada itu merupakan bagian dari paket F-35 yang jauh lebih besar yang akan diperolehnya dari AS.
Jepang juga akan melanjutkan pengembangan pesawat tempur generasi keenamnya bersama militer Italia dan Inggris, membeli 500 rudal jelajah Tomahawk dari AS. Pembelian ini seiring dengan pengembangan kemampuan rudal serangan baliknya sendiri dan meningkatkan produksi rudal dalam negeri termasuk model hipersonik.