REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Pengadilan tinggi administratif Prancis menolak banding terhadap larangan pemakaian abaya di sekolah. Pengadilan tinggi menolak keluhan bahwa larangan abaya bersifat diskriminatif dan dapat memicu kebencian.
Dewan Negara, pengadilan tertinggi di Prancis yang menangani pengaduan terhadap otoritas publik, pada Kamis (7/9/2023) mengatakan pada hari Kamis bahwa mereka telah menolak permintaan perintah yang menentang larangan abaya. Menjelang keputusan pengadilan pada Kamis, Dewan Kepercayaan Muslim Prancis, yang dibentuk untuk mewakili umat Islam di hadapan pemerintah, memperingatkan, pelarangan pakaian abaya dapat menciptakan risiko diskriminasi yang meningkat.
Pemerintahan Presiden Prancis Emmanuel Macron mengumumkan larangan abaya di sekolah, dengan alasan bahwa pakaian tersebut melanggar aturan sekularisme dalam pendidikan. Sebelumnya pemakaian jilbab juga telah dilarang dengan alasan menunjukkan afiliasi agama.
Action for the Rights of Muslim (ADM), sebuah asosiasi yang mewakili umat Islam, mengajukan mosi tersebut ke Dewan Negara untuk meminta keputusan terhadap larangan tersebut. ADM mengatakan, larangan tersebut bersifat diskriminatif dan dapat memicu kebencian terhadap umat Islam.
Setelah mengkaji mosi tersebut, Dewan Negara menolaknya. Dewan Negara mengatakan, mengenakan pakaian tersebut mengikuti logika penegasan agama. Larangan itu didasarkan pada undang-undang Perancis, yang tidak membolehkan siapa pun memakai simbol afiliasi agama di sekolah.
Dewan Negara mengatakan, larangan pemerintah tersebut tidak menyebabkan kerusakan serius terhadap penghormatan kehidupan pribadi, kebebasan beragama, hak atas pendidikan, kesejahteraan anak-anak atau prinsip non-diskriminasi. Pengacara ADM, Vincent Brengarth berpendapat, selama persidangan abaya harus dianggap sebagai pakaian tradisional, bukan pakaian keagamaan. Dia juga menuduh pemerintah Perancis mencari keuntungan politik dengan larangan tersebut.
“Keputusan yang sangat tidak termotivasi setelah sidang selama hampir dua jam. Keputusan ini, yang hanya mendukung posisi pemerintah, bukanlah keputusan yang tepat,” ujar Brengarth di media sosial.
Hampir 300 siswi menentang larangan tersebut dan menolak melepas abaya pada hari pertama tahun ajaran sekolah di Prancis pekan ini. Sebagian besar siswi Muslim setuju untuk berganti pakaian tetapi 67 orang menolak dan dipulangkan. Pada Rabu (6/9/2023) para guru dan siswa di sebuah sekolah menengah di Prancis melakukan aksi mogok sebagai protes terhadap larangan tersebut.
“Kami ingin menjauhkan diri dari kebijakan Islamofobia pemerintah. Siswa harus disambut di SMA Maurice Utrillo, dan kita tidak perlu mengawasi pakaian. Kami menolak menstigmatisasi siswa yang mengenakan abaya atau qamis,” kata pernyataan kelompok protes di Sekolah Menengah Maurice Utrillo di Stains, Seine-Saint-Denis, timur laut Paris.
Pada 2016, Dewan Negara membatalkan larangan penggunaan “burkini” di sebuah resor di French Riviera. Dewan mengatakan, mereka tidak melihat adanya ancaman terhadap ketertiban umum dari pakaian renang panjang yang dikenakan oleh beberapa wanita Muslim.