REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- India dinilai telah berusaha mengambil keuntungan dari perannya sebagai tuan rumah KTT G20 untuk mempromosikan agendanya sendiri. Tindakan itu bahkan merugikan kepentingan Cina.
Lembaga think-tank asal Cina Cina Institute of Contemporary International Relations mengatakan pada Sabtu (9/9/2023), India membawa barang pribadi dalam urusan geopolitik ke panggung global. Upaya itu dinilai tidak hanya akan membantu negara tersebut memenuhi tanggung jawabnya sebagai tuan rumah G20 tetapi juga menciptakan masalah lebih lanjut.
India mengadakan dua pertemuan G20 sebelumnya di wilayah yang disengketakan, satu di Arunachal Pradesh yang juga diklaim Cina, dan satu lagi di Kashmir yang diperebutkan oleh Pakistan. “Selain menyebabkan gejolak diplomatik dan gejolak opini publik, tindakan India menjadi tuan rumah pertemuan di wilayah yang disengketakan juga telah ‘mencuri perhatian’," ujar lembaga yang berafiliasi dengan Kementerian Keamanan Negara Cina.
Menurut lembaga itu, New Delhi telah menyabotase suasana kerja sama pertemuan G20 dan menghambat pencapaian hasil-hasil substantif. Pernyataan tersebut mungkin bisa menjelaskan ketidakhadiran Presiden Cina Xi Jinping dalam pertemuan puncak yang diselenggarakan oleh Perdana Menteri Narendra Modi.
Pejabat Cina menolak menjelaskan ketidakhadiran tersebut. Namun Xi mengutus Perdana Menteri Li Qiang malah mewakili Cina dalam acara yang berlangsung dua hari itu.
Kedua negara bertetangga di Asia ini telah mencari cara untuk meredakan ketegangan militer yang membara di sepanjang perbatasan yang luas,. Namun New Delhi menggambarkan situasi tersebut sebagai situasi yang rapuh dan berbahaya. Sejak 2020, New Delhi juga meningkatkan pengawasan terhadap bisnis dan investasi Cina.
Cina Institute of Contemporary International Relations juga mengatakan, India telah mencoba menggunakan isu restrukturisasi utang untuk menyerang Cina. India sering bekerja sama dengan Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Barat dalam mendukung teori “perangkap utang”.
Tudingan ini menyoroti inisiatif Beijing menawarkan pinjaman kepada negara-negara miskin untuk membangun infrastruktur yang dibutuhkan seperti pelabuhan atau jalan. Program ini merupakan upaya Xi yang dikenal dengan Belt and Road Initiative.
"Langkah India dapat lebih lanjut menciptakan perbedaan dan perpecahan, menghambat komunitas internasional dalam mencapai konsensus dan hasil-hasil substantif, dan pada akhirnya akan menyebabkan kerusakan pada citra internasional dan kepentingan pembangunan global," ujar lembaga think-tank tersebut.
Untuk menahan pengaruh Cina itu, kesepakatan kereta api dan pelabuhan multinasional yang menghubungkan Timur Tengah dan Asia Selatan akan diumumkan di sela-sela KTT G20 di New Delhi pada Sabtu. Wakil penasihat keamanan nasional AS Jon Finer menyatakan, nota kesepahaman untuk kesepakatan tersebut akan ditandatangani oleh Uni Eropa, India, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, AS.
Finer menyatakan, kesepakatan itu akan menguntungkan negara-negara berpendapatan rendah dan menengah di kawasan. “Menghubungkan wilayah-wilayah utama ini, menurut kami, merupakan peluang besar,” katanya tanpa memberikan rincian mengenai nilai kesepakatan yang tersedia.
Menurut Finer. kesepakatan itu memungkinkan Timur Tengah memainkan peran penting dalam perdagangan global. Hal ini bertujuan untuk menghubungkan negara-negara Timur Tengah melalui kereta api dan menghubungkan wilayah itu ke India.
Jalur penghubung itu akan melalui pelabuhan, sehingga membantu aliran energi dan perdagangan dari Teluk ke Eropa. Upaya ini pun dinilai memangkas waktu pengiriman, biaya, dan penggunaan bahan bakar.
Langkah ini dilakukan di tengah upaya AS untuk mencapai kesepakatan diplomatik yang lebih luas di Timur Tengah yang akan membuat Saudi mengakui Israel. Selain itu, pakta tersebut terjadi pada saat yang kritis ketika Presiden AS Joe Biden berupaya melawan dorongan Cina di kawan itu.