Ahad 10 Sep 2023 22:32 WIB

Utusan Myanmar untuk PBB Serukan Tekanan Lebih Besar Terhadap Junta

DK PBB menyerukan diakhirinya segala bentuk kekerasan di Myanmar.

Tak ada perwakilan junta militer yang diundang, sementara giliran Myanmar memegang keketuaan ASEAN juga ditangguhkan.
Foto: Tangkapan Layar/VOA
Tak ada perwakilan junta militer yang diundang, sementara giliran Myanmar memegang keketuaan ASEAN juga ditangguhkan.

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Ketua delegasi Myanmar untuk PBB menyerukan tekanan lebih besar guna menghentikan kekejaman militer yang dilakukan junta militer di tanah airnya. Ini sebagai tanggapan atas kecaman ASEAN terhadap junta setelah pertemuan puncaknya pada awal bulan ini.

"Sejujurnya, ini masih belum memenuhi harapan kami," kata Dubes Kyaw Moe Tun dalam wawancara baru-baru ini dengan Kyodo News, merujuk pada pernyataan terbaru mengenai Myanmar oleh Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara tersebut.

Baca Juga

Kyaw Moe Tun ditunjuk sebagai Dubes Myanmar untuk badan dunia tersebut di New York sekitar tiga bulan sebelum militer mengambil alih kekuasaan di negara Asia Tenggara tersebut pada 1 Februari 2021. Kyaw Moe Tun tetap menjabat meski ada upaya junta untuk memecatnya.

Naypyitaw memberitahu PBB tentang rencana untuk menggantikan dirinya setelah kudeta. Namun, selama dua tahun terakhir, Majelis Umum PBB mengizinkan Kyaw Moe Tun untuk terus menghadiri pertemuan atas nama negaranya sambil menunda keputusan apakah akan mengakreditasi perwakilan junta Myanmar.

Kyaw Moe Tun mengaku mewakili negara Asia Tenggara tersebut dalam konsultasi terus-menerus dengan kepemimpinan sipil bayangan, Pemerintah Persatuan Nasional.

“Kami berpikir bahwa negara-negara anggota ASEAN dapat mengambil tindakan yang kuat dan bersatu melawan militer… tetapi hal itu belum terjadi,” katanya dengan merujuk situasi kemanusiaan di negaranya.

Pernyataan blok beranggotakan 10 negara tersebut menegaskan kurangnya kemajuan substansial dalam penerapan rencana perdamaian konsensus lima poin yang disepakati antara pemerintah pimpinan militer Myanmar dan negara-negara ASEAN lainnya pada 2021, dan mengutuk tindakan kekerasan yang dilakukan oleh militer.

Pada KTT tersebut, negara-negara anggota sepakat bahwa ketua ASEAN saat ini, sebelumnya, dan yang akan datang akan bekerja sama untuk menangani junta Myanmar. Kyaw Moe Tun memuji langkah tersebut karena memberikan kesinambungan dalam mengatasi masalah Myanmar.

Utusan Myanmar untuk PBB tersebut, yang mengkritik tindakan kekerasan dan penindasan yang dilakukan junta terhadap rakyat Myanmar, telah dinominasikan untuk Hadiah Nobel Perdamaian tahun ini. Ia dimasukkan oleh Henrik Urdal, kepala Institut Penelitian Perdamaian yang berbasis di Norwegia, ke dalam daftar tidak resmi lima kandidat teratas untuk penghargaan tersebut.

“Kami ingin komunitas internasional membantu kami dengan cara yang konkret dan efektif. Pastikan tidak ada seorang pun yang tertinggal. Pastikan mereka yang membutuhkan mendapatkan bantuan," kata Kyaw Moe Tun.

Dewan Keamanan PBB mengadopsi resolusi pada Desember 2022 yang meminta pembebasan semua tahanan yang ditahan secara sewenang-wenang dan menyerukan diakhirinya segala bentuk kekerasan di Myanmar.

Kyaw Moe Tun telah meminta Dewan Keamanan untuk menjatuhkan sanksi atas penjualan senjata dan bahan bakar jet kepada junta, memblokir sumber pendanaan dan menciptakan mekanisme akuntabilitas untuk memberikan keadilan bagi korban tewas di tangan militer Myanmar.

“Kami, komunitas internasional, khususnya Dewan Keamanan, tidak bisa menghentikan kekejaman militer, tidak bisa menghentikan (mereka) melakukan pembantaian terhadap rakyat,” ujarnya.

Kyaw Moe Tun belum berbicara dalam sesi debat umum tahunan yang melibatkan para pemimpin dunia di Majelis Umum PBB. Ketika ditanya apakah ia bermaksud menyampaikan pidato pada sidang mendatang yang dijadwalkan akhir bulan ini, ia mengatakan belum mengambil keputusan.

Ketika perhatian beralih ke krisis lain, termasuk perang di Ukraina, Kyaw Moe Tun mendesak dunia tidak melupakan rakyat Myanmar, dengan mengatakan intensitas penderitaan di negaranya sama parahnya dengan di Ukraina.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement