REPUBLIKA.CO.ID, SEVASTOPOL -- Api melalap kapal-kapal angkatan laut Rusia di sebuah galangan kapal utama di semenanjung Krimea, wilayah yang diduduki Moskow, pada Selasa (12/9/2023), setelah serangan rudal Ukraina menghantam kawasan ini.
Serangan ini menjadi terkenal bukan hanya sebagai contoh semakin canggihnya kemampuan senjata Ukraina menyerang Rusia hingga jauh di belakang garis depannya. Namun juga, kata para kritikus, karena serangan ini mengekspos kepalsuan alasan pendiri SpaceX, Elon Musk, berupaya menggagalkan serangan serupa yang dilakukan Ukraina.
CEO SpaceX Elon Musk tahun lalu secara efektif menyabotase serangan Ukraina saat pesawat tak berawak Kiev berusaha menyerang kapal angkatan laut Rusia di Sevastopol. Ini terjadi pada pekan-pekan awal konflik, kata Walter Isaacson dalam biografi barunya tentang miliarder Musk.
Musk memutuskan untuk tidak mengaktifkan satelit Starlink yang digunakan untuk memandu pesawat tanpa awak. Karena khawatir serangan itu dapat menjadi Pearl Harbour baru yang akan meningkatkan konflik dan berpotensi mengundang respons nuklir dari Rusia, kata biografi tersebut.
Insiden ini merupakan indikasi mengejutkan dari kekuatan yang dimiliki Musk. Dan ini merupakan pertama kalinya miliarder ini secara langsung turun tangan untuk mencegah operasi militer dalam konflik tersebut.
Apa yang tidak terlihat setelah pemogokan pada hari Selasa adalah tanda-tanda eskalasi besar-besaran dari Rusia yang menurut Musk telah ia cegah.
Faktanya, ada beberapa serangan terhadap kapal-kapal Rusia di Sevastopol sejak insiden yang dijelaskan Isaacson, termasuk serangan pada Oktober 2022 yang menggunakan drone laut, yang juga tidak memicu respons besar-besaran dari Rusia.
Dalam buku tersebut, Isaacson menjelaskan bagaimana ketika Musk mengetahui bahwa satelit Starlink digunakan untuk memandu drone Ukraina. Dia berbicara melalui telepon dengan para pejabat, termasuk duta besar Rusia untuk AS, Anatoly Antonov.
Antonov, tulis Isaacson, membujuk Musk bahwa serangan terhadap Sevastopol akan memicu respons nuklir dari Rusia di bawah doktrin militer negara itu. Musk mengatakan bahwa ia menghentikan serangan tersebut untuk mencegah "tindakan perang dan eskalasi konflik yang besar" dalam sebuah tweet setelah kutipan dari buku tersebut diterbitkan minggu lalu.
Para kritikus mengatakan Musk dipermainkan oleh Rusia. "Ini adalah kisah peringatan tentang kesombongan seorang miliarder yang memainkan peran penting dalam kebijakan luar negeri AS. Namun, ini juga merupakan kisah tentang ketakutan, yang disemai dan dipromosikan oleh Rusia, yang sengaja dirancang untuk membentuk persepsi Barat yang lebih luas tentang perang ini," tulis sejarawan Anne Applebaum di The Atlantic seperti dilansir laman business insider.
Presiden Rusia Vladimir Putin dan para pejabat tinggi Kremlin telah berulang kali mengancam Ukraina dan Barat dengan prospek serangan nuklir.
Putin bahkan menyarankan ketika ia mengumumkan aneksasi resmi petak-petak Ukraina timur pada Oktober 2022 bahwa serangan terhadap wilayah itu akan diperlakukan sebagai serangan terhadap Rusia, menunjukkan bahwa Kremlin dapat merespons dengan serangan nuklir.
Namun Ukraina terus menyerang wilayah tersebut dan bahkan merebut kembali sebagian wilayah tersebut dari Rusia tanpa memicu respon nuklir seperti yang diancamkan oleh Putin. Bahkan serangan Ukraina ke Rusia sendiri tidak memicu eskalasi besar-besaran dari Rusia.