Senin 18 Sep 2023 06:30 WIB

Prancis dan 'Obsesinya' Terhadap Perempuan Muslim

Larangan abaya menutupi masalah sebenarnya soal pendidikan di Prancis

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Esthi Maharani
Muslimah di Prancis mengenakan abaya.
Foto:

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Larangan abaya bagi siswa muslim di Prancis menambah daftar panjang aturan-aturan pemerintah terhadap muslim. Hal ini juga semakin memperlihatkan obsesi elite politik Prancis terhadap tubuh perempuan muslim.

Penulis bernama Fariz Hafez menyebut ada satu peristiwa yang menjadi awal mula kegaduhan di negara tersebut. Peristiwa itu dimulai dengan pengusiran seorang gadis berusia 13 tahun pada 1989, yang berujung pada sejumlah peraturan yang membatasi akses perempuan berhijab terhadap pendidikan.

Baca Juga

Dilansir di Yeni Safak, Senin (18/9/2023), larangan hijab mulai muncul pada 2004. Kala itu, Prancis melarang penggunaan pakaian yang dianggap terlalu "mencolok". Kini, muncul perdebatan yang berlangsung selama berbulan-bulan tentang pelarangan abaya.

Menteri Pendidikan dan Pemuda Nasional yang baru diangkat, Gabriel Attal, menggunakan larangan tersebut untuk memperkenalkan dirinya kepada khalayak luas. Pengumuman larangan abaya ia sampaikan dalam wawancara pertamanya, pada akhir Agustus. Keputusannya ini sepenuhnya didukung oleh Presiden Prancis, Emmanuel Macron, dengan mengatakan akan menegakkan larangan tersebut tanpa kompromi.

Profesor Studi Perancis di Virginia Wesleyan University AS, Alain Gabon, mengkritik hal tersebut. Ia menyebut larangan itu diterapkan tepat ketika sistem sekolah negeri telah runtuh karena berbagai masalah struktural, termasuk gaji yang sangat tidak mencukupi, hilangnya pertimbangan dan status sosial bagi para guru, kondisi kerja yang semakin sulit, serta tingginya tingkat kelelahan, kecemasan dan depresi.

"Dengan kata lain, pelarangan ini tampaknya menjadi pengalih perhatian yang berguna. Mengalihkan perhatian dari kegagalan politik yang berdampak pada seluruh masyarakat Perancis, ke keburukan negara pascakolonial Perancis," ujar Hafez.

Argumentasi elite politik Prancis pun telah ternoda secara ideologis. Perdana Menteri Elisabeth Borne dan Menteri Dalam Negeri Gerald Darmanin berpendapat bahwa abaya merupakan tanda "proselitisme". Hafez menilai upaya untuk memperjuangkan sekularisme dan mempertahankan peraturan, dengan memanfaatkan gagasan pemisahan gereja dan negara telah lama berubah menjadi paternalisme pasca-kolonial.

Di satu sisi, hal ini juga seolah menunjukkan sikap kolonialis laki-laki kulit putih yang menyelamatkan perempuan berkulit coklat dari laki-laki berkulit coklat, seperti Gayatri Chakravorty Spivak yang terkenal mencirikan kompleks superioritas penjajah Eropa. Di sisi lain, hal ini menunjukkan problematisasi ruang yang tidak diatur secara efisien oleh rezim pasca-kolonial.

Banlieue, selaku wilayah perkotaan miskin yang menjadi tempat tinggal orang-orang kulit berwarna dan terutama banyak Muslim, telah lama menjadi wilayah yang sangat terpolitisasi. Lokasi ini dianggap sebagai wilayah ghetto republik sekuler, sebuah ghetto budaya yang harus diawasi dan merupakan tempat tinggal kaum kulit hitam dan coklat yang kurang bermartabat.

Adapun sejak tahun ajaran baru dimulai, sejumlah video tersebar di seluruh dunia yang menunjukkan bagaimana petugas keamanan memeriksa pakaian setiap siswi. Video yang diunggah di media sosial menunjukkan para remaja putri melepas pakaian lebar mereka, yang disebut abaya, sesuai dengan disiplin polisi.

Tidak mudah menentukan kategori abaya...

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement