REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Israel memperpanjang penutupan di perbatasan Gaza tanpa batas waktu. Israel juga melarang pekerja Palestina pulang pergi bekerja di negara pendudukan tersebut.
Keputusan tersebut diambil setelah terjadi protes selama akhir pekan. Dalam protes itu, ratusan warga Palestina membakar ban untuk menyuarakan penolakan mereka terhadap penyerbuan kompleks Masjid Al-Aqsa di Yerusalem Timur oleh pemukim Israel yang merayakan Tahun Baru Yahudi.
Lebih dari 300 pemukim Israel memaksa masuk ke tempat suci umat Islam pada Ahad (17/9/2023) untuk memperingati hari raya Rosh Hashanah atau Tahun Baru Yahudi. Pemukim Israel itu beraksi di bawah perlindungan polisi.
Koordinator Kegiatan Pemerintah Israel di Wilayah (COGAT) mengumumkan, perbatasan Beit Hanoun (Erez) antara Gaza dan Israel akan ditutup bagi pekerja Palestina selama 24 jam mendatang. Penutupan ini merupakan praktik standar selama hari libur nasional Yahudi, Purim, yang diklaim militer sebagai tindakan pencegahan. Pos pemeriksaan ini awalnya diperkirakan akan kembali beroperasi pada hari Minggu tengah malam, namun penutupan penyeberangan perbatasan Beit Hanoun (Erez) terus berlanjut sejak saat itu.
Pengecualian akan diberikan untuk kasus-kasus kemanusiaan dan kasus-kasus luar biasa lainnya. Namun, hal tersebut masih memerlukan persetujuan COGAT, yaitu pasukan pendudukan yang bertanggung jawab atas urusan Palestina di wilayah pendudukan.
Tindakan Israel tersebut mencakup penutupan semua jalan utama, pendirian pos pemeriksaan militer dan intensifikasi kehadiran tentara. Israel juga menutup semua penyeberangan di sekitar Jalur Gaza.
Kelompok hak asasi manusia Gisha atau Pusat Hukum untuk Kebebasan Bergerak mengatakan kepada Haaretz, penutupan perbatasan akibat protes merupakan hukuman kolektif ilegal yang sangat merugikan pekerja dan keluarga. Penutupan ini juga merugikan orang lain yang menerima izin keluar untuk kebutuhan kemanusiaan yang mendesak.
"Semua tindakan yang kejam dan menindas terhadap warga Palestina dikatakan diperlukan sebagai cara untuk mengamankan perayaan para pemukim," ujar pernyataan kelompok hak asasi itu, dilaporkan Middle East Monitor, Selasa (19/9/2023).
Tahun lalu adalah tahun pertama dalam lima tahun di mana penutupan tidak diberlakukan di Tepi Barat. Penutupan ini semakin merusak dan membatasi pertumbuhan ekonomi Palestina.