REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Presiden Brasil, Luiz Inacio Lula da Silva, memperingatkan para pemimpin dunia tentang kemungkinan kudeta di Guatemala. Pernyataan Lula ini mencerminkan kekhawatiran Amerika Serikat mengenai risiko terhadap demokrasi di negara Amerika Tengah tersebut setelah pemilu bulan lalu.
“Di Guatemala, ada risiko kudeta, yang akan menghambat pelantikan pemenang pemilu demokratis,” kata Lula di Majelis Umum PBB, Selasa (19/9/2023).
Pekan lalu, kantor kejaksaan tinggi di Guatemala menggerebek fasilitas pemilu dan membuka surat suara yang tersegel. Presiden terpilih Bernardo Arevalo dan Partai Semilla yang dipimpinnya keluar sebagai pemenang dalam pemilu. Jaksa menuduh adanya kejanggalan dalam pendaftaran anggota Semilla menjelang pemungutan suara. Namun, hal ini dibantah oleh partai tersebut. Arevalo pekan lalu menangguhkan partisipasinya dalam peralihan kekuasaan sampai kondisi kelembagaan dan politik yang diperlukan pulih kembali.
Duta Besar AS untuk Organisasi Negara-negara Amerika, Francisco Mora, pada Senin (18/9/2023) mendesak pihak berwenang Guatemala untuk mengakhiri upaya intimidasi yang menargetkan pejabat pemilu dan anggota partai Arevalo. Mora menyebut penggerebekan itu sebagai serangan terhadap supremasi hukum.
Dalam pidatonya di PBB pada Selasa, Presiden Guatemala, Alejandro Giammattei mengkritik campur tangan asing dalam proses pemilu. Dia mengulangi komitmennya terhadap peralihan kekuasaan.
“Bertentangan dengan kurangnya kebenaran yang kita dengar hari ini dari podium ini, saya akan menyerahkan kekuasaan kepada (orang) yang dipilih berdasarkan mayoritas kedaulatan rakyat Guatemala pada 14 Januari, ketika mandat konstitusi saya berakhir,” kata Giammattei.
Komentar Lula mengenai Guatemala secara mengejutkan sejalan dengan komentar Washington. Padahal Lula adalah pemimpin yang tidak selalu berinteraksi langsung dengan Amerika Serikat.
Dalam pidatonya di PBB, Luka mengatakan pemerintahnya akan terus bersuara menentang embargo perdagangan AS terhadap Kuba. Dia juga menyerukan penyelesaian perang di Ukraina secara damai melalui dialog dan mengkritik pengeluaran militer.
Lula mengatakan, konflik yang terus berlanjut di Ukraina adalah bukti hilangnya kredibilitas Dewan Keamanan PBB. Dia mengecam lembaga-lembaga multilateral karena gagal memajukan perdamaian global dan mengurangi kemiskinan. Lula juga menyerang Dana Moneter Internasional karena tidak mewakili negara-negara miskin dan Organisasi Perdagangan Dunia karena tidak mencegah meningkatnya proteksionisme di dunia.