Jumat 22 Sep 2023 05:35 WIB

Menlu RI Bagikan Pengalaman Indonesia Rehabilitasi Mantan Teroris

Indonesia berbagi strategi rehabilitasi dan reintegrasi bagi mantan teroris.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Esthi Maharani
Menlu Retno saat berbicara di Sidang Majelis Umum PBB di Kota New York.
Foto: UNTV/VOA
Menlu Retno saat berbicara di Sidang Majelis Umum PBB di Kota New York.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Menteri Luar Negeri (Menlu) RI Retno Marsudi menghadiri Ministerial Plenary Meeting of the Global Counter-Terorrism Forum (GCTF) ke-13 yang digelar di sela-sela sidang Majelis Umum PBB di New York, Amerika Serikat (AS), Rabu (20/9/2023). Pada kesempatan itu, Menlu membagikan pengalaman Indonesia dalam menanggulangi kejahatan terorisme, khususnya mengenai strategi rehabilitasi dan reintegrasi bagi mantan teroris.

Pada awal pidatonya, Retno mengungkapkan, ancaman global terorisme terus meningkat. “Terdapat data yang mengkhawatirkan yang mendukung tren ini, misalnya meningkatnya lone-wolf terrorism, kemudian penggunaan online propaganda, dan juga eksploitasi teknologi baru seperti drone dan artificial intelligence,” ucapnya, seperti dikutip dalam keterangan pers yang dirilis Kementerian Luar Negeri, Kamis (21/9/2023).

Tak hanya ancamannya, Menlu menambahkan bahwa angka kematian akibat terorisme dilaporkan meningkat dalam lima tahun terakhir. “Dan saya share informasi (tentang) apa yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam penanganan terorisme,” ujar Retno.

Pertama, mengedepankan pendekatan “whole-of-government” dan “whole-of-society”, sebagaimana dimandatkan dalam Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme. Pendekatan itu menggarisbawahi pentingnya peran dan dukungan sinergis antara pemerintah dan masyarakat. Selain itu, pendekatan tersebut mengombinasikan hard and soft approaches. “It takes a village to turn extremist idea into a peaceful one,” kata Menlu Retno, menekankan bahwa mengubah pemikiran ekstremisme menjadi pemikiran yang damai memerlukan dukungan semua pihak.

Kedua, memastikan kemajuan teknologi dan riset, agar tidak disalahgunakan. Perkembangan teknologi membuka ruang bagi penyebaran ide-ide ekstremisme. Terkait hal itu, dalam pertemuan GCTF, Retno menceritakan tentang langkah Indonesia meluncurkan Pusat Pengetahuan Indonesia (I-KHub) untuk mengintegrasikan sistem data serta mendukung pengambilan keputusan berbasis penelitian dalam upaya memerangi terorisme, sekaligus memastikan keamanan negara.

Ketiga, memastikan lingkungan yang aman untuk menangkal terorisme, termasuk melalui pendidikan bagi perempuan dan anak. “Karena pemikiran ekstremis hanya dapat tumbuh di tempat yang dipenuhi dengan kebencian,” ujar Menlu Retno.

Sementara terkait, rehabilitasi dan reintegrasi, Menlu menekankan, hal itu harus mencakup semua aspek. “Tidak hanya terbatas pada mantan narapidana teroris, tapi juga harus memperkuat ketahanan masyarakat dan lingkungan yang menerima mereka,” ucapnya.

Retno menjelaskan, GCTF merupakan platform kerja sama untuk penanggulangan terorisme beranggotakan 32 negara. Pertemuan tingkat menteri GCTF dilakukan setiap tahun di sela-sela pertemuan sidang Majelis Umum PBB. “Kita sangat aktif di Forum ini. Antara lain yang sudah kita lakukan, kita menjadi Co-Chairs di Countering Violent Extremism Working Group sejak tahun 2017 dan juga menjadi co-host bersama AS, Australia, Yordania dalam memimpin pertemuan Addressing Challenges to Reintegration and Rehabilitation (R&R) of Foreign Terrorist Fighters yang baru dilakukan tahun ini pada bulan Mei,” ungkapnya.

Menlu mengatakan, fokus GCTF tahu adalah membahas rehabilitasi dan reintegrasi mantan narapidana terorisme yang meliputi penanganan radikalisasi, penjaminan hak-hak sipil, dan proses reintegrasi ke masyarakat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement