REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Mao Ning memastikan bahwa Presiden Rusia Vladimir Putin akan menghadiri pertemuan Belt and Road Initiative (BRI) di Cina pada Oktober 2023. Namun saat konferensi pers di Beijing, Cina, pada Kamis (21/9/2023), Mao belum menyampaikan tanggal pasti pertemuan BRI tersebut.
"Kami akan merilis informasi secara resmi pada waktunya," ujarnya, saat ditanya soal waktu pertemuan.
Pada Rabu (20/9/2023) menurut kantor berita Rusia, Tass, Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan dirinya menerima undangan Presiden Cina Xi Jinping untuk mengunjungi Cina pada Oktober dalam forum BRI.
"Kami menyambut negara-negara dan mitra yang terlibat dalam kerja sama Belt and Road Initiative untuk datang ke Beijing, menjajaki lebih banyak kemungkinan kerja sama dan mencapai upaya pembangunan bersama," kata Mao.
BRI merupakan program yang diperkenalkan oleh Presiden Cina Xi Jinping pada 2013 dengan nama One Belt One Road (OBOR). Saat itu, Xi ingin menghidupkan kembali kejayaan Jalur Sutera (Silk Road) pada abad ke-21. Strategi ini melibatkan investasi dan pembangunan infrastruktur besar-besaran di 152 negara yang tersebar di Eropa, Asia, Timur Tengah, Amerika Latin, dan Afrika.
Dalam pertemuan baru-baru ini dengan Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi di St Petersburg, Rusia, Putin menunjukkan dukungannya bagi proyek infrastruktur itu, yang menandai ulang tahun ke-10 tahun ini. Ia menyatakan program itu "menyelaraskan ide-ide kami untuk membentuk wilayah Eurasia yang luas" dan sepenuhnya sejalan dengan kepentingan Moskow dan Beijing.
Belt atau sabuk mengacu pada jalur darat berupa jalan yang menghubungkan Cina ke Asia Tengah dan Asia Selatan, serta Eropa dan rel kereta yang juga disebut sebagai Sabuk Ekonomi Jalur Sutera.
Sedangkan, road atau jalan merujuk pada jalur laut atau Jalur Sutera Maritim pada Abad ke-21 yang menghubungkan Cina ke Asia Tenggara, Timur Tengah, Afrika Timur dan Afrika Utara, serta Eropa.
Untuk mengumpulkan pendanaan bagi proyek-proyek infrastruktur BRI, dibentuklah Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB). Cina memiliki saham terbesar di AIIB, yakni 26 persen, sementara Indonesia menjadi menjadi penyetor terbesar ke-8 untuk AIIB dengan setoran modal 672 juta dolar AS (sekitar Rp 10,23 triliun) yang dibayarkan bertahap dalam lima tahun.
Proyek-proyek infrastruktur di Indonesia yang mendapatkan pendanaan dari AIIB antara lain adalah proyek energi, manajemen air, pertanian, dan transportasi berbasis rel, baik light rail transit (LRT) maupun kereta cepat (high speed rail/HSR).