REPUBLIKA.CO.ID, HANOI -- Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) mengungkapkan kekhawatiran pada penangkapan aktivis lingkungan Vietnam yang berkolaborasi dengan PBB dan pemerintah Amerika Serikat (AS). Penangkapan dilakukan beberapa hari setelah Presiden AS Joe Biden menandatangani kesepakatan bisnis dan hak asasi manusia dengan Vietnam.
Pada 15 September lalu, kepolisian Hanoi menangkap Direktur Eksekutif Vietnam Initiative for Energy Transition (VIET) Ngo Thi To Nhien. VIET merupakan lembaga think tank yang fokus pada kebijakan energi hijau. Penangkapannya diketahui dari seorang sumber dan lembaga tersebut.
"Kami mengetahui penangkapan itu dan mengikuti perkembangannya dengan khawatir," kata juru bicara OHCHR Ravina Shamdasani, Ahad (25/9/2023).
Berdasarkan profilnya di LinkedIn, Nhien pernah bekerja dengan Bank Dunia, Badan Program Pembangunan PBB (UNDP) dan Lembaga Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID).
"(Ia) berpartisipasi dalam kegiatan nasional dan internasional, termasuk termasuk konsultasi-konsultasi yang diselenggarakan oleh UNDP mengenai topik transisi energi," kata UNDP di Vietnam dalam pernyataan tertulisnya
Kedutaan Besar AS di Hanoi belum menanggapi permintaan komentar mengenai hal ini. Pada bulan Juni lalu OHCHR mengatakan selama dua tahun terakhir, Vietnam menangkap lima pembela hak asasi manusia di bidang lingkungan dengan tuduhan penggelapan pajak.
OHCHR mengatakan penangkapan tersebut terjadi ketika Vietnam sedang menegosiasikan pendanaan internasional untuk transisi energi dari batu bara. Vietnam salah satu pengguna bahan bakar batu bara di dunia.
Nhien sangat jarang tampil di depan publik dan dianggap sebagai seorang ahli, bukan aktivis. Pemerintah Vietnam belum mengeluarkan pernyataan mengenai penangkapan Nhien, dan tidak menanggapi permintaan komentar.
Pada Jumat (22/9/2023) Vietnam juga mengeksekusi seorang pria, Le Van Manh, yang telah dijatuhi hukuman mati pada bulan Juli 2005 setelah dinyatakan bersalah atas pembunuhan, pemerkosaan anak dan perampokan. Uni Eropa meminta negara Asia Tenggara itu untuk menghentikan eksekusi tersebut.
Wakil Direktur Asia di Human Rights Watch Phil Robertson mengatakan Manh memiliki alibi yang kuat namun tidak digubris.