REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA – Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan tak lagi mengharapkan negaranya menjadi anggota Uni Eropa. Apalagi Uni Eropa telah membuat Turki menunggu 40 tahun. Tak hanya itu, Turki telah melakukan semua syarat yang diminta oleh Uni Eropa, tetapi hingga detik ini janji yang diberikan perhimpunan Benua Biru tak kunjung ditepati.
“(Turki) tidak lagi mengharapkan apa pun dari Uni Eropa, yang telah membuat kita menunggu selama 40 tahun. Turki telah melaksanakan semua janjinya yang dibuat kepada Uni Eropa. Namun mereka hampir tidak menepati satu pun janji mereka,” ujar Erdogan di hadapan para anggota parlemen Turki, Ahad (1/10/2023), dilaporkan laman Al Arabiya.
Erdogan pun menegaskan bahwa Turki tidak akan mentoleransi tuntutan atau ketentuan baru apa pun dalam proses aksesi negaranya ke perhimpunan Benua Biru.
Turki telah menjadi kandidat resmi anggota baru Uni Eropa sejak 1999. Pembicaraan aksesi terhenti pada 2016. Pemicunya yakni kekhawatiran Uni Eropa mengenai pelanggaran hak asasi manusia dan penghormatan terhadap supremasi hukum di Turki.
Pada 10 Juli 2023 lalu, Erdogan, tanpa diduga, menyerukan agar perundingan aksesi Turki ke Uni Eropa dibuka kembali. Sebagai gantinya, Erdogan mengisyaratkan bakal menyetujui permohonan keanggotaan Swedia ke Organisasi Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Stockholm, yang khawatir atas serangan Rusia ke Ukraina, memutuskan mendaftar untuk menjadi anggota NATO. Namun permintaan keanggotaannya tersendat akibat belum adanya persetujuan dari Ankara.
Tak lama setelah seruan Erdogan, para menteri luar negeri (menlu) Uni Eropa sepakat bahwa mereka harus menjalin keterlibatan lagi dengan Turki.
“Kami membahas cara untuk kembali terlibat dengan Turki. Kami yakin ada kepentingan timbal balik untuk mengembangkan hubungan yang lebih kuat antara Turki dan Uni Eropa,” ujar kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Josep Borrell dalam konferensi pers seusai pertemuan para menlu Uni Eropa di Brussels, Belgia, 20 Juli 2023 lalu.
Namun Borrell menyampaikan bahwa Uni Eropa ingin Turki juga menunjukkan pergerakannya, terutama terkait masalah Siprus. Siprus adalah anggota Uni Eropa. Pada 1974, bagian utara negara tersebut diinvasi oleh Turki dan sejak itu berada di bawah pendudukan.
“Menyelesaikan masalah Siprus sejalan dengan resolusi PBB yang relevan akan menjadi kunci dalam keterlibatan kembali dengan Turki,” kata Borrell.
“Juga, menjunjung tinggi kebebasan dan nilai-nilai mendasar sebagaimana didefinisikan oleh Konvensi Hak Asasi Manusia Eropa, di mana Ankara menjadi bagiannya, akan menjadi hal yang penting,” tambah Borrell.