REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Warga Palestina berbaris di luar toko roti dan toko kelontong di Gaza pada Kamis (12/10/2023). Mereka sebelumnya bermalam di tengah reruntuhan lingkungan yang hancur akibat pemadaman listrik total.
Antrean terbentuk di luar toko roti dan toko kelontong selama beberapa jam ketika akhirnya memberanikan untuk buka. Orang-orang pun mencoba menimbun makanan sebelum rak-rak dikosongkan.
Kelompok-kelompok bantuan internasional memperingatkan bahwa jumlah korban meningkat di Gaza bisa meningkat setelah Israel menghentikan semua pengiriman makanan, air, bahan bakar, dan listrik ke wilayah kecil tersebut. Sementara jalur penyeberangannya dengan Mesir tidak dapat digunakan.
Kementerian Luar Negeri Mesir mengatakan pihaknya belum secara resmi menutup penyeberangan Rafah tetapi serangan udara Israel telah mencegahnya beroperasi. Kairo tetap berupaya untuk memungkinkan pengiriman bantuan.
“Sejak awal, kami menekankan untuk terus membuka penyeberangan Rafah untuk memberikan bantuan kemanusiaan, dan penyeberangan tersebut akan tetap terbuka sampai kami memenuhi kebutuhan kemanusiaan yang mendesak di Jalur Gaza,” kata Menteri Luar Negeri Mesir Sameh Shoukry.
Pihak Mesir pun mengarahkan penerbangan bantuan internasional untuk Gaza ke bandara di Sinai utara. Bandara Al Arish di Sinai utara, sekitar 45 km dari perbatasan Gaza, bersiap menerima tiga penerbangan bantuan dari Qatar dan Yordania. Namun, menurut dua sumber keamanan Mesir, penerbangan tersebut tidak akan meninggalkan bandara sampai koridor kemanusiaan telah dibangun.
Mesir telah melakukan pembicaraan intensif dengan Israel dan Amerika Serikat untuk mengizinkan pengiriman bantuan dan bahan bakar melalui Rafah, satu-satunya penyeberangan Gaza yang tidak dikendalikan oleh Israel. Hanya saja Washington dan Tel Aviv menolak usulan untuk membangun koridor keluar dari wilayah tersebut. Mesir juga secara tidak langsung khawatir dengan potensi masuknya ratusan ribu pengungsi.
Pejabat Kementerian Pertahanan Turki menyatakan, negara itu siap mengirim bantuan kemanusiaan ke warga Palestina yang terkena dampak konflik yang berpusat di Gaza. Namun Ankara mengakui, sangat sulit untuk menyalurkannya dalam situasi saat ini.
Dia juga membahas inisiatif untuk menyalurkan bantuan kemanusiaan dengan rekan-rekan globalnya sejak konflik meletus. “Situasi di kawasan ini sangat rumit. Dalam kondisi saat ini, sangat sulit untuk mengirimkan bantuan ke sana,” kata pejabat Kementerian Pertahanan Turki itu.
Meskipun Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan telah berdiskusi dengan para pemimpin, negara itu belum mengumumkan jadwal resmi untuk menyalurkan bantuan kemanusiaan. Angkatan Bersenjata Turki siap memberikan bantuan jika diperintahkan oleh Presiden.
Selain masalah pasokan makanan, kondisi Gaza pun semakin mengkhawatirkan karena aliran listrik terputus. Satu-satunya pembangkit listrik di Gaza kehabisan bahan bakar dan mati pada Rabu (11/10/2023). Kondisi itu pun hanya menyisakan lampu yang ditenagai oleh generator swasta yang tersebar.
Direktur Regional Komite Palang Merah Internasional di Gaza Fabrizio Carboni memperingatkan bahwa kekurangan listrik dapat melumpuhkan rumah sakit. “Ketika Gaza kehilangan aliran listrik, rumah sakit pun kehilangan pasokan listrik, sehingga bayi baru lahir yang berada di inkubator dan pasien lanjut usia yang membutuhkan oksigen berada dalam risiko," katanya.
“Tanpa listrik, rumah sakit berisiko berubah menjadi kamar mayat," ujar Carboni.
Kantor kemanusiaan PBB mengatakan, serangan Israel telah meratakan 1.000 rumah sejak 7 Oktober 2023, dan 560 unit rumah lainnya menjadi tidak dapat dihuni. Pemutusan aliran listrik oleh Israel telah mengakibatkan kekurangan air yang parah bagi lebih dari 650 ribu orang. Sistem pembuangan limbah telah rusak, sehingga air limbah berbau busuk dibuang ke jalan-jalan.
Menteri Energi Israel Israel Katz mengatakan tidak ada yang diizinkan masuk ke Gaza sampai para tawanan dibebaskan. “Tidak ada satupun saklar listrik yang akan dinyalakan, tidak ada satupun keran yang akan dinyalakan, dan tidak ada satupun truk bahan bakar yang akan masuk sampai para sandera Israel dikembalikan ke rumah mereka,” ujarnya.
Israel merebut Tepi Barat, bersama dengan Gaza dan Yerusalem timur, dalam perang 1967. Palestina menginginkan ketiga wilayah tersebut sebagai negara masa depan, tetapi belum ada pembicaraan damai selama lebih dari satu dekade dan Israel terus menggencarkan pencaplokan wilayah di area tersebut.