Ahad 15 Oct 2023 18:29 WIB

Tim Medis Berjibaku dan Menolak Pergi dari Gaza

Banyak tim medis di Gaza yang tidak mau menyerah pada permintaan evakuasi Israel.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Esthi Maharani
A Palestinian child wounded in Israeli bombardment waits for treatment in a hospital in Rafah refugee camp, southern Gaza Strip, Thursday, Oct. 12, 2023.
Foto:

Selain tim medis yang bekerja sepanjang waktu untuk merawat semua orang yang terluka, rumah sakit ini juga membuka pintunya bagi mereka yang melarikan diri dari kehancuran. Banyak warga Gaza yang mencari tempat aman untuk berlindung dari serangan bom Israel.

Banyak orang takut untuk mengikuti permintaan Israel agar mereka pergi ke selatan karena konvoi evakuasi telah dihantam, dan semua orang di rumah sakit - dokter, pasien, petugas medis - takut jika mereka mencoba untuk pergi, mereka akan terbunuh di jalan. Jadi mereka berkumpul bersama, kurang tidur dan hampir kehabisan makanan dan air.

Rumah sakit mengatakan bahwa mereka telah menerima bantuan dari orang-orang yang tinggal di sekitarnya yang membawa makanan dan perlengkapan dasar untuk para pasien dan orang-orang yang mencari perlindungan.

"Bekerja di rumah sakit, kami hampir tidak punya waktu untuk makan di hari biasa, jadi ini bukan prioritas kami saat ini," kata perawat lain, menjelaskan bahwa bantuan apa pun digunakan untuk pasien.

Semua rumah sakit di Jalur Gaza beberapa kali melebihi kapasitas, sampai-sampai pasien tergeletak di koridor. Mayat-mayat harus disimpan di lemari pendingin atau truk es krim dan berbaris di trotoar sebelum dimakamkan karena kamar mayat begitu penuh.

Kementerian Kesehatan Palestina telah beberapa kali mendesak komunitas internasional untuk turun tangan, namun tidak ada tanggapan atau bantuan yang datang.

"Kami melakukan sebanyak mungkin yang kami bisa, tetapi ada kekurangan besar, terutama di ruang gawat darurat, yang merupakan lini pertama kami dalam merespons orang-orang yang datang. Kami terkadang berada di garis antara hidup dan mati," kata al-Shorafa.

"Kami bekerja sangat keras," katanya, suaranya pecah. "Kami melakukan semua yang kami bisa, tapi terkadang seorang pasien akan meninggal... rasanya begitu banyak orang meninggal setiap hari sejak awal perang ini.

"Ini sangat sulit, kami merasa sama sekali tidak berdaya," katanya sambil meneteskan air mata yang mengalir pelan di wajahnya yang terlihat yang sangat kelelahan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement