REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Koridor-koridor terasa remang-remang, tetapi kehancuran yang melanda rumah sakit Dar al-Shifa di Gaza dapat dilihat dengan jelas oleh para korban luka yang baru tiba. Erangan dan jeritan kesakitan terdengar dari berbagai sisi ruang gawat darurat, para dokter mencoba menavigasi lautan warga Palestina yang terluka, hingga pasien yang datang dirawat di lantai.
Pekerja rumah sakit mengambil kain pel dan mulai membersihkan ubin yang berlumuran darah di antara korban yang terluka. Bau klorin yang kuat tercium di udara.
Serangan udara terbaru Israel di Jalur Gaza yang terkepung memasuki hari ke-10, tetapi skala kehancuran telah mendorong fasilitas kesehatan yang rusak akibat perang ini ke titik puncaknya. Walaa Alabasi yang terlihat cemas berdiri di dinding mengatakan kepada Middle East Eye, bahwa dia sedang menunggu kabar tentang saudara laki-lakinya yang berusia 21 tahun bernama Salem.
Pecahan peluru akibat serangan udara Israel menghantam lengan Salem saat mereka meninggalkan rumah pada awal pekan ini. Pecahan itu mematahkan tendonnya dan menyebabkan hilangnya gerak sehingga memerlukan pembedahan.
“Meski dia memerlukan operasi, dokter hanya membersihkan [area tersebut] dan membalut lukanya, menyuruhnya kembali setelah enam hari,” kata Alabasi.
“Ruang operasi rumah sakit kewalahan karena ratusan operasi kritis. [Dapatkah Anda] bayangkan meninggalkan rumah sakit dengan pecahan peluru di pergelangan tangan Anda karena Anda tidak mendapat giliran untuk dioperasi?” ujar Alabasi.
Staf saat ini dan mantan staf di rumah sakit Shifa mengatakan, berusaha mati-matian untuk menghemat bahan bakar diesel yang tersisa di generator cadangan. Mereka telah mematikan lampu di semua departemen yang tidak penting.
“Kemarin saya berbicara dengan rekan-rekan saya di Rumah Sakit Shifa dan mereka mengatakan kepada saya bahwa mereka masih belum memiliki cukup tempat tidur untuk korban luka, dan staf medis merawat korban luka di lapangan. Secara harfiah di lapangan,” ujar dokter umum yang sebelumnya bekerja di RS Shifa Malak Naim.
“Mereka juga mengatakan kepada saya bahwa mereka tidak memiliki kebutuhan dasar seperti air di toilet,” katanya.
Naim menceritakan, ruang operasi dan staf medis bekerja sepanjang waktu dalam kondisi yang sangat menantang. "Mereka hanya tidur selama beberapa jam jika beruntung mendapatkan tempat tidur, dan kemudian kembali bekerja," ujarnya.
Di tengah pemboman besar-besaran, gelombang baru pasien berdatangan ke rumah sakit anak-anak Al-Durrah. Bayi dan balita dengan luka memar dan perban, serta anak-anak kecil dengan darah berlumuran di wajah mereka.
Serangan udara Israel menewaskan sedikitnya 250 orang hanya pada 12 Oktober pagi saja, termasuk 44 anggota keluarga yang sama di Jabalia. Kementerian Kesehatan Gaza mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa rumah sakit Durrah tidak luput dari pemboman dan terpaksa mengungsi setelah menjadi sasaran peluru fosfor putih. MEE tidak dapat memverifikasi laporan tersebut secara independen, tetapi Human Rights Watch mengatakan, bahwa Israel menggunakan fosfor putih secara tidak sah di Jalur Gaza.
Kondisi ini semakin mengkhawatirkan usai Israel menghentikan pasokan dasar bagi warga Gaza setelah beberapa hari serangan mengejutkan Hamas yang menembus perbatasan Israel. Kini Israel sedang mempersiapkan kemungkinan invasi darat ke Gaza untuk pertama kalinya dalam hampir satu dekade.
Serangan darat akan meningkatkan jumlah korban jiwa...