Selasa 17 Oct 2023 17:48 WIB

Perempuan Palestina Ini Mendapat Teror dari Polisi Inggris karena Suaminya Pergi ke Gaza

Sang suami bertugas sebagai dokter di wilayah Gaza.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Nidia Zuraya
Polisi Inggris (ilustrasi)
Polisi Inggris (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, BIRMINGHAM -- Negara Barat semakin aneh menyikapi perang Israel-Hamas yang terjadi sepekan terakhir. Di Inggris, istri dari keluarga imigran Palestina, seorang dokter harus terusik oleh petugas polisi antiteror Inggris, hanya karena suaminya Dr Ghassan Abu-Sitta sedang bertugas sebagai dokter di Gaza.

Dr Ghassan Abu-Sitta mengatakan bahwa unit kontraterorisme bertanya kepada istrinya mengapa ia berada di Gaza dan siapa yang membayar tiketnya. Ghassan merupakan seorang dokter bedah Inggris-Palestina di Rumah Sakit Al-Shifa di Gaza.

Baca Juga

"Polisi antiteror Inggris muncul di rumah saya di Inggris dan melecehkan keluarga saya," katanya seperti dilansir Anadolu Agency.

Ghassan Abu-Sitta, seorang ahli bedah dari Doctors Without Borders (MSF) yang sering berbicara kepada media mengenai kondisi fasilitas medis yang mengerikan di Jalur Gaza. Ia berada di sana sejak serangan 7 Oktober oleh Hamas, hingga Gaza berada di bawah pengeboman dan blokade Israel.

Dokter Ghassan membagikan rincian insiden, cerita keluarganya yang diusik polisi antiteror Inggris tersebut di akun media X pada hari Senin (15/10/2023). "Saya tidak akan berhenti berbicara atas nama pasien saya dan menjadi saksi atas kejahatan yang dilakukan," katanya.

Malam harinya, sang dokter tampil di BBC Newsnight, mengatakan bahwa polisi mendatangi rumahnya di London, tempat istri dan tiga anak laki-lakinya tinggal. "Saya pikir ini adalah upaya pelecehan dan pembungkaman yang kejam," ujarnya.

"Saya tetap berkomitmen untuk berbicara atas nama pasien saya dan keluarga-keluarga yang sedang dihancurkan. Ada 50 keluarga yang telah dihapuskan dari catatan sipil, yang berarti kakek-nenek, cucu, dan orang tua mereka semua dibunuh."

Dokter Ghassan Abu-Sitta mengatakan bahwa keluarganya sudah cukup khawatir, dan kasus ini akan ditangani oleh pengacaranya.

"Saya perlu mencari tahu mengapa seseorang berpikir bahwa itu adalah ide yang baik bagi mereka untuk datang ke rumah saya dan bertanya kepada istri saya di bagian rumah sakit mana saya berada, dan mengapa saya pergi, siapa yang membayar tiket saya dan badan amal mana saya bekerja?" katanya.

"Pada masa-masa sulit ini, keluarga saya melihat pengeboman ini terjadi dan tahu betul bahwa saya berada di tengah-tengahnya. Jadi, membuat mereka dilecehkan dengan cara seperti ini sungguh aneh," ujarnya.

Berbicara mengenai kondisi layanan kesehatan di Gaza, Abu-Sitta mengatakan bahwa Rumah Sakit Al-Shifa memiliki kapasitas 700 tempat tidur sebelum pecahnya konflik terakhir. Namun jumlah pasien yang menerima perawatan saat ini setidaknya dua kali lipat.

Ia menambahkan bahwa 40 persen dari korban luka adalah anak-anak, yang sebagian besar dikeluarkan dari reruntuhan setelah rumah mereka hancur dirudal Israel. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement