REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Palestina di Indonesia, Yayasan Persahabatan dan Studi Peradaban (YPSP) dengan tegas mengutuk serangan pesawat tempur Israel yang menyasar Gereja Santo Porphyrius, gereja tertua dan bersejarah di Gaza Palestina.
Direktur YPSP Ahed Abo Al-Atta menegaskan penargetan rumah ibadah seperti gereja dan rumah sakit, dan tempat perlindungan warga sipil yang tidak bersalah, terutama anak-anak dan perempuan, merupakan kejahatan perang yang tidak dapat diabaikan.
"Serangan bom Pendudukan Israel yang menargetkan Gereja Santo Porphyrius di Gaza adalah "kejahatan perang" yang menambah deretan kejahatan pendudukan terhadap warga Palestina dan tempat ibadah," kata Ahed dalam pernyataannya, Jum'at (20/10/2023).
Aktivis asal Gaza Palestina ini mengingatkan serangan Israel yang berulang terhadap tempat-tempat suci mereka, adalah garis merah yang tidak dapat diterima oleh Bangsa Palestina.
Ahed menyebut serangan Zionis yang menyasar salah satu gereja tertua di dunia tersebut telah membunuh sedikitnya 18 orang warga sipil dan puluhan lainnya luka-luka. Dimana ada sekitar 500 warga sipil yang terdiri dari anak-anak, perempuan dan orang tua yang berlindung di dalam gereja tersebut.
Ahed menjelaskan agresi Israel ke Gaza sejak tanggal 7 Oktober lalu telah mengakibatkan lebih 4.000 warga sipil terbunuh, dan lebih 1.300 orang yang masih tertimbun di bawah puing-puing rumah mereka.
Ahed menambahkan, selain itu, lebih dari 13.000 orang telah terluka, dengan 65 persen dari korban agresi tersebut adalah anak-anak dan perempuan.
Memasuki hari ke-14, menurut Ahed, pesawat tempur Zionis Israel terus menggempur rumah-rumah warga di berbagai wilayah Gaza, menyerang warga sipil saat mereka tidur. Dan terdapat 22 pembantaian tambahan yang terjadi di kamp pengungsian Jabalia, Beit Lahia, Kota Gaza, dan Khan Yunis. Salah satu puncaknya adalah serangan ke Gereja Santo Porphyrius Ortodoks Yunani di Gaza yang menampung ratusan pengungsi Kristen dan Muslim.
Setengah penduduk Gaza kini menjadi pengungsi, lebih dari satu juta warga yang terusir, sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak dan tinggal di sekolah-sekolah UNRAW dengan kondisi kemanusiaan yang sangat buruk karena kurangnya pemenuhan kebutuhan dasar.
Hal ini menurut Ahed disebabkan oleh isolasi kejahatan yang dilakukan oleh Israel terhadap penduduk Gaza, yang berjumlah 2,3 juta jiwa, setengahnya adalah anak-anak. Sanksi ini mencakup pemadaman listrik, air, pembatasan bantuan kemanusiaan, serta blokade penuh wilayah Gaza.
Dengan semua kejahatan dan isolasi ini, Pendudukan Zionis terus membabibuta menyerang dengan brutal dengan menggunakan ribuan ton bahan peledak dan senjata yang dilarang secara internasional ke Gaza, yang luasnya hanya 360 kilometer persegi.
Tujuan utamanya, tegas Ahed adalah membunuh dan menghancurkan warga sipil serta membalas dendam kepada warga sipil, memaksa mereka hidup dalam kondisi bencana kemanusiaan yang tak terbayangkan. Dan ini tegas Ahed adalah genosida dan kejahatan terencana terhadap kemanusiaan.
YPSP mengajak semua organisasi internasional yang peduli pada hak asasi manusia, terutama hak anak-anak dan perempuan, untuk meningkatkan upaya mereka memberikan perlindungan internasional dan segala bentuk dukungan kemanusiaan bagi anak-anak dan perempuan, dengan tujuan memastikan kehidupan dan martabat kemanusiaan mereka terjaga.