REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Orang tua dan psikiater di daerah kantong yang kecil dan padat di Palestina mulai khawatir. Anak-anak di Gaza semakin menunjukkan tanda-tanda trauma dalam dua minggu setelah pemboman hebat yang dilakukan Israel.
“Anak-anak… sudah mulai mengalami gejala trauma serius seperti kejang-kejang, mengompol, ketakutan, perilaku agresif, gugup, dan tidak meninggalkan orang tua mereka,” kata psikiater Gaza Fadel Abu Heen.
Rasa cemas terhadap kondisi psikologis anak-anak muncul karena kondisi tanpa ada tempat yang aman untuk bersembunyi dari jatuhnya bom dan sedikitnya prospek untuk beristirahat. Padahal anak-anak merupakan separuh dari 2,3 juta penduduk Gaza.
Mereka hidup di bawah pemboman terus-menerus dan banyak di antaranya yang mengungsi ke tempat penampungan sementara di sekolah-sekolah yang dikelola PBB. Anak-anak ini meninggalkan rumah mereka dengan sedikit makanan atau air bersih.
“Kurangnya tempat yang aman telah menciptakan rasa takut dan ngeri di antara seluruh penduduk dan anak-anaklah yang paling terkena dampaknya,” kata Abu Heen.
“Beberapa dari mereka bereaksi secara langsung dan mengungkapkan ketakutan mereka. Meskipun mereka mungkin memerlukan intervensi segera, kondisi mereka mungkin lebih baik dibandingkan anak-anak lain yang menyimpan kengerian dan trauma di dalam diri mereka,” katanya.
Israel diperkirakan akan melancarkan serangan darat ke Gaza. Rencana itu akan menambah jumlah korban jiwa di Gaza yang sudah lebih dari 4.100 orang sejauh ini. Dari total jumlah orang yang terbunuh secara keseluruhan di Gaza akibat serangan Israel, lebih dari 1.500 adalah anak-anak.
Kondisi di tempat penampungan sementara di sekolah-sekolah PBB, tempat lebih dari 380 ribu orang berkemah dengan harapan bisa lolos dari pemboman, hanya menambah masalah. Terkadang ada 100 orang tidur di setiap ruang kelas, yang semuanya memerlukan pembersihan terus menerus. Listrik dan air sedikit, sehingga kamar mandi dan toilet sangat kotor.
“Anak-anak kami sangat menderita di malam hari. Mereka menangis sepanjang malam, mereka buang air kecil tanpa disengaja dan saya tidak punya waktu untuk membersihkannya, satu demi satu,” kata Tahreer Tabash, ibu dari enam anak yang mengungsi di tempat penampungan sekolah PBB itu.
Bahkan di sana, mereka tidak aman. Sekolah-sekolah tersebut telah diserang beberapa kali. Tabash telah menyaksikan serangan-serangan yang menghantam gedung-gedung di dekatnya. Ketika anak-anaknya mendengar kursi dipindahkan, menurut Tabash, anak-anak langsung ketakutan.
Jika anak-anak tidak ditampung di sekolah PBB, mereka berdesakan di rumah yang sangat sempit. Sebuah rumah di Khan Younis, selatan Gaza, menampung sekitar 90 orang termasuk 30 orang yang berusia di bawah 18 tahun. Mereka harus tidur secara bergiliran karena kurangnya ruang.
“Saat ada ledakan atau ada sasaran yang terkena tembakan di dekatnya, mereka selalu berteriak, selalu ketakutan. Kami mencoba menenangkan anak-anak yang lebih muda, mencoba memberi tahu mereka, 'Jangan khawatir, itu hanya kembang api'. Namun yang lebih tua mengerti apa yang terjadi. ," kata insinyur yang berlindung di dalam rumah itu Ibrahim al-Agha,
“Mereka akan membutuhkan banyak dukungan mental setelah perang ini selesai,” katanya.
Kesejahteraan psikososial anak-anak di Gaza berada pada tingkat yang sangat rendah