REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Selama berminggu-minggu, Iman Hermas dengan antusias bersiap mengunjungi suaminya yang dipenjara, Saeed, di Penjara Gurun Negev Israel. Pada 15 Oktober, Iman tidak bisa datang lebih cepat karena dia tidak dibolehkan mengunjungi penjara secara rutin.
Sejak Hamas melancarkan serangan mengejutkan ke Israel selatan pada 7 Oktober, Israel telah mengambil tindakan hukuman ekstrem terhadap tahanan Palestina di penjara-penjaranya.
Keluarga tahanan telah menerima pemberitahuan dari Komite Palang Merah Internasional terkait pembatalan kunjungan penjara sampai pemberitahuan lebih lanjut. Tindakan baru ini telah membuat para tahanan benar-benar terisolasi, dan keluarga mereka selalu berada dalam kecemasan.
Saeed Hermas yang berasal dari Bethlehem, ditangkap pada 2016 dan dijatuhi hukuman 15 tahun penjara. Dia dan Iman memiliki tiga orang anak, yang tertua berusia 12 tahun. Iman mengatakan, setelah beberapa bulan absen dan akhirnya mendapat izin bertemu suaminya, pembatalan kunjungan tahanan tersebut merupakan sebuah pukulan telak.
"Itu tidak berhenti di situ. Tiba-tiba, bagian penjara ditutup untuk para tahanan dan semua peralatan listrik disita dari kamar mereka, termasuk televisi dan kompor. Kamar mereka diserbu dan digeledah secara menyeluruh, dan banyak barang milik mereka disita," ujar Iman.
Iman sudah berusaha mencari informasi mengenai kabar suaminya, namun informasinya sulit didapat. Dia mengetahui dari keluarga tahanan lain bahwa administrasi penjara telah menutup toko yang mereka andalkan untuk membeli makanan, dan sekarang hanya memberi mereka makanan dua kali dalam sehari.
“Mereka dikenakan kebijakan kelaparan, dan kami mengetahui bahwa mereka telah berpuasa selama dua minggu karena tidak memiliki cukup makanan, jadi mereka menjatah makanan dalam jumlah kecil yang diberikan oleh administrasi penjara,” kata Iman, dikutip Middle East Eye, Selasa (24/10/2023).
Sejak 7 Oktober, otoritas Israel juga telah mengumpulkan tahanan dari Jalur Gaza di semua penjara dan menempatkan mereka di satu penjara tanpa menyebutkan alasannya. Iman mengatakan, dia tidak bisa makan atau tidur sejak tindakan keras terhadap narapidana dimulai karena keprihatinannya yang mendalam terhadap suaminya.
Unit penindasan di penjara-penjara Israel telah menyerbu sel-sel, mengintimidasi tahanan dengan anjing, dan menyita barang-barang mereka. Klub Tahanan Palestina mengatakan, unit-unit ini juga memukuli para tahanan, yang menyebabkan kasus patah tulang dan memar.
“Situasinya tragis dan sangat sulit. Ada penindasan, balas dendam, dan pemukulan setiap hari di penjara,” ujar Salah Fateen Salah, yang dibebaskan dari penjara pada Selasa kepada media lokal Palestina.
“Tingkat pemukulan yang dialami para tahanan tidak dapat digambarkan, dan tidak ada akses ke klinik medis. Ini penderitaan yang sangat nyata," ujar Salah.
Juru bicara Klub Tahanan, Amani Sarhana mengatakan, para tahanan Palestina saat ini sedang melalui salah satu masa paling sulit dan kejam karena mereka mengalami isolasi, penindasan, kelaparan, dan penolakan kunjungan keluarga atau pengacara. “Semua prosedur hukum telah dihentikan. Hampir tidak ada pembebasan tahanan meskipun hukuman mereka telah berakhir, dan hampir tidak ada sidang pengadilan,” kata Sarhana.
“Perawatan medis juga telah dihentikan. Kita tidak lagi berbicara tentang tahanan yang mengalami kelalaian medis, namun tentang menghentikan pengobatan mereka sepenuhnya," ujar Sarhana menambahkan.
Pada Senin (23/10/2023), Omar Daraghmeh, seorang warga Palestina yang ditangkap pada 9 Oktober meninggal dalam tahanan dengan kondisi yang tidak jelas, sehingga meningkatkan ketegangan lebih lanjut di penjara-penjara Israel. Klub Tahanan dan Komisi Urusan Tahanan dan Mantan Tahanan Palestina telah menolak klaim Israel bahwa dia meninggal karena kesehatannya yang memburuk.
Dalam pernyataan bersama, kedua organisasi itu mengatakan, Daraghmeh tampak dalam keadaan sehat ketika dia menghadiri sidang di hari yang sama saat dia meninggal. Hamas menuduh Israel membunuh Daraghmeh, yang merupakan sebagai anggota senior kelompok perlawanan tersebut.
Narapidana perempuan juga mengalami penindasan yang belum pernah terjadi sebelumnya, dengan adanya larangan total terhadap kunjungan pengacara dan keluarga mereka, serta penolakan total terhadap apa yang terjadi pada mereka.
Direktur Otoritas Urusan Tahanan dan Mantan Tahanan, Ibrahim Najajra, mengatakan, pada 19 Oktober, otoritas penjara Israel menyerbu Penjara Damoun, tempat sekitar 50 tahanan Palestina ditahan dan mengosongkan semua benda di dalamnya termasuk meja, kursi, dan peralatan dapur.
Ketika para tahanan perempuan menolak, petugas penjara memukuli mereka, mengurung beberapa dari mereka di sel isolasi, dan membanjiri kamar mereka dengan gas air mata tanpa mempertimbangkan keberadaan tahanan di bawah umur, perempuan lanjut usia, serta mereka yang terluka dan sakit.
Najajra mengatakan, narapidana perempuan telah dikenakan hukuman berat selama lebih dari dua minggu, termasuk menyita peralatan listrik, mengurangi durasi mandi menjadi 15 menit sehari untuk setiap sel, pembobolan sel berulang kali, ancaman pembunuhan, dan penghinaan terus-menerus.
Sejak dimulainya perang, tentara Israel telah melancarkan kampanye penangkapan secara luas di wilayah pendudukan Tepi Barat. Israel menargetkan hampir 1.200 warga Palestina dari berbagai kota, termasuk jurnalis, peneliti, mahasiswa, dan mantan tahanan.
Kampanye penangkapan berlangsung brutal. Tentara Israel yang memaksa para tahanan untuk tiarap, dan menahan mereka dengan tangan diborgol dan mata yang ditutup selama berjam-jam. Para tahanan difoto, sementara tentara melontarkan hinaan kepada mereka.
Ibrahim Khalaf mengatakan, saudaranya, Fakhr ditangkap di rumahnya saat fajar pada 21 Oktober di Desa Rantis, sebelah barat Ramallah. Fakhr ditangkap sebagai bagian dari kampanye penangkapan besar-besaran malam itu.
“Puluhan tentara menyerbu rumah setelah mengepungnya. Mereka menanyakan nama saudara laki-laki saya, lalu menyita teleponnya dan menangkapnya. Semua tahanan dari desa hari itu dipukuli. Kami baru-baru ini mengetahui bahwa dia dipindahkan ke Penjara Ofer,” kata Khalaf.
Menurut Klub Tahanan, sebagian besar tahanan baru telah dipukuli dan dikumpulkan di tempat terbuka dalam kondisi yang tidak manusiawi. Sebagian besar dari mereka telah dipindahkan ke penahanan administratif tanpa dakwaan atau sidang pengadilan.
Salah, tahanan yang baru dibebaskan mengatakan, gelombang penangkapan telah mengakibatkan kepadatan yang parah di penjara Gilboa, tempat dia ditahan selama lima tahun. “Saya tidur di lantai karena tidak ada tempat. Otoritas penjara juga menyita bantal, selimut, dan penutup kasur," ujar Salah.