REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Tentara Israel telah meningkatkan penahanannya terhadap warga Palestina di wilayah pendudukan Tepi Barat seiring kemarahan rakyat atas serangan udara mematikan di Gaza yang terus berlanjut selama tiga pekan. Juru bicara Pusat Studi Tahanan Palestina, Amina al-Taweel, mengatakan, sejauh ini 20 perempuan Palestina telah ditahan oleh Israel.
Beberapa perempuan yang ditahan telah dibebaskan dengan syarat menjadi tahanan rumah. Sementara tahanan perempuan lainnya dipindahkan ke tahanan administratif. Tindakan keras terbaru ini membuat jumlah tahanan perempuan Palestina di Israel menjadi lebih dari 60 orang. Di antara mereka adalah seorang lansia, Suhair Barghouti (66 tahun).
Pada 26 Oktober 2023, puluhan tentara menggerebek rumah Barghouti di Kota Kobar, sebelah utara Ramallah. Putra Barghouti mengatakan, tentara menggeledah rumah, merusak isi rumah, lalu menangkap Barghouti. Ini adalah kedua kalinya Barghouti ditahan.
Putra sulung Barghouti, Asif, yang tinggal di kota yang sama, mengatakan kepada Middle East Eye, dia terbangun karena suara kendaraan militer yang menyerbu kota tersebut pada Rabu (25/10/2023) pukul 02.00 diri hari. Mereka kemudian mengepung rumah ibunya dan puluhan tentara menyerbunya.
"Mereka merusak rumah dan mengatakan kepadanya bahwa dia (Barghouti) ditahan. Mereka membawa lebih dari 11 tahanan yang mereka tangkap dari kota pada saat yang sama. Mereka mengikat tangannya dan membawanya ke kendaraan militer," ujar Asif.
Keesokan harinya, seorang pengacara memberi tahu Asif dan keluarganya bahwa Barghouti ditahan di Penjara Ofer. Dia akan dipindahkan ke penahanan administratif dan dikirim ke Penjara Damon, tempat para wanita ditahan.
Suhair Barghouti biasanya dipanggil dengan nama panggilan Om Asif di kalangan tetangganya. Suaminya, Omar Barghouti, telah meninggal dunia dan menghabiskan lebih dari 30 tahun di penjara Israel. Om Asif juga merupakan ibu dari Saleh Barghouti, yang dibunuh oleh tentara Israel pada akhir 2018 setelah melakukan serangan penembakan di dekat permukiman Ofra di timur Ramallah.
Kemudian pada 2019, pihak berwenang Israel menangkap putranya yang lain, Assem, dan menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup setelah dia melakukan serangan penembakan yang menewaskan empat tentara Israel beberapa hari setelah kematian saudara laki-lakinya.
Israel membebaskan Om Asif lebih dari sebulan setelah penangkapannya pada 2019, kemudian menghancurkan rumah kedua putranya Saleh dan Assem. Putra bungsunya, Muhammad, juga ditangkap beberapa kali. Muhamad terakhir kali ditangkap lima bulan lalu, dan dia masih ditahan secara administratif hingga saat ini.
Pada Rabu puluhan tentara Israel menggerebek rumah penulis Palestina, Lama Khater di Kota Hebron. Khater (46 tahun) adalah ibu dari lima anak. Suaminya, Hazem al-Fakhouri, mengatakan, lebih dari 20 tentara menyerbu rumah dan merusak isinya, kemudian memberi tahu dia bahwa Khater ditahan.
"Mereka sangat kejam. Mereka menghina kami sepanjang waktu dan meneror anak-anak kami. Mereka menyuruh saya duduk di lantai dan mulai berteriak. Petugas yang bertanggung jawab atas mereka berkata, 'Kami di sini untuk membalas dendam pada Anda. Tujuan kami adalah balas dendam'," ujar al-Fakhouri menirukan kecaman tentara Israel ketika menggerebek rumahnya.
Khater dapat berbicara singkat dengan pengacaranya 24 jam setelah penangkapannya. Dia mengatakan bahwa metode dan kondisi penangkapannya sangat buruk. Sebelumnya, Khater telah ditangkap pada pertengahan 2018 selama 13 bulan sehubungan dengan tulisannya, yang oleh pihak berwenang Israel digambarkan sebagai tulisan yang menghasut.
Pada malam tanggal 26 Oktober 2023, tentara Israel juga menangkap dua mahasiswi di Universitas Hebron. Kemudian malam berikutnya mereka menangkap seorang wanita dan suaminya dari Kota Dura, selatan Hebron, bersama dengan seorang wanita dari Jenin.
Pada Sabtu (28/10 2023), jurnalis Palestina Sujud Darassi ditahan dalam upaya menekan suaminya, Mohamed Badr, agar menyerahkan diri kepada otoritas Israel. Badr juga merupakan seorang jurnalis.
Mengomentari penahanan terbaru, Taweel, dari Pusat Studi Tahanan Palestina, mengatakan bahwa tentara Israel tidak memiliki benang merah dalam menangkap warga Palestina. Menurutnya, tujuan penangkapan perempuan adalah untuk menjalankan kebijakan pencegahan, intimidasi dan mengosongkan Tepi Barat dari elit feminis yang aktif dan berpengaruh, yang merupakan bagian dari perjuangan melawan pendudukan.
Taweel mengatakan, peningkatan jumlah tahanan perempuan terkait dengan tercapainya kesepakatan pertukaran dengan Hamas, yang menahan lebih dari 200 tawanan. Tahanan perempuan akan digunakan sebagai alat tawar-menawar dalam negosiasi apa pun. Setidaknya 15 ribu perempuan Palestina telah ditangkap sejak 1967 dan menjadi sasaran berbagai jenis pelecehan fisik, psikologis, dan moral.