REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Serangan udara Israel tidak hanya menghancurkan masjid, tetapi juga gereja di Gaza. Sekitar dua pekan lalu, serangan udara Israel menargetkan kompleks Gereja Saint Porphyrius, yang merupakan gereja tertua di Gaza dan tertua ketiga di dunia.
Serangan brutal tersebut menyebabkan sedikitnya 18 orang tewas, termasuk 10 orang dari satu keluarga. Menurut Aid to the Church in Need, sebuah organisasi bantuan Katolik untuk pengungsi perang, di antara para korban termasuk beberapa pemuda Kristen yang merupakan bagian dari Proyek Penciptaan Lapangan Kerja untuk pemuda Kristen, yang dijalankan oleh Patriarkat Latin Yerusalem.
Aula pertemuan, salah satu dari empat bangunan yang berdekatan di kompleks gereja, luluh lantak menjadi abu. Sementara salah satu sisi gereja Ortodoks Yunani berusia 1.600 tahun itu juga rusak parah.
Kompleks tersebut menampung ratusan warga Palestina beragama Kristen dan Muslim yang terpaksa mengungsi dari rumah mereka mengikuti perintah evakuasi rezim Israel.
Perintah evakuasi dikeluarkan di tengah kampanye pengeboman tanpa henti yang dimulai pada 7 Oktober 2023. Sejauh ini pengeboman Israel telah merenggut nyawa lebih dari 8.000 warga Palestina, termasuk lebih dari 3.000 anak-anak.
Menurut anggota komunitas Kristen Palestina, sekitar 100 orang berlindung di bangunan gereja dua lantai yang dibombardir Israel. Sementara sekitar 400 orang lainnya tersebar di seluruh kompleks gereja.
Dilansir Press TV, kompleks bangunan ini terletak beberapa ratus meter dari Gereja Katolik Keluarga Kudus, tempat ratusan warga Kristen dan Muslim Palestina lainnya berlindung untuk bersembunyi dari serangan Israel. Rezim Israel awalnya membantah bahwa militernya menargetkan kompleks gereja tersebut, namun akhirnya mereka mengakui bahwa mereka menyerang gereja karena menargetkan unit komando Hamas karena meluncurkan roket dan granat.
Pernyataan Israel tentang kehadiran Hamas di dekat gereja itu dibantah oleh penduduk setempat. “Sebagian besar umat Kristen di Gaza mencari perlindungan di gereja karena mereka tidak punya tempat lain untuk pergi. Kami terkejut. Kami tidak menerima peringatan untuk mengungsi,” kata seorang saksi mata.
Dalam pernyataan yang tegas, Patriarkat Ortodoks Yunani mengutuk serangan tersebut. Patriarkat Ortodoks Yunani menekanka, menargetkan gereja-gereja dan lembaga-lembaga afiliasinya merupakan kejahatan perang yang tidak dapat diabaikan.
Sementara Dewan Gereja Dunia mengecam keras serangan tersebut dan menyebut pengeboman ini adalah serangan tidak masuk akal.
“Kami mengutuk serangan tidak masuk akal terhadap kompleks suci ini dan menyerukan kepada komunitas dunia untuk menegakkan perlindungan di Gaza terhadap tempat-tempat perlindungan, termasuk rumah sakit, sekolah, dan rumah ibadah,” kata pernyataan Dewan Gereja Dunia.
Pemimpin Gereja Katolik, Paus Fransiskus mengaku sedih atas serangan terhadap Gereja Saint Porphyrius, serta Rumah Sakit Anglikan Al-Ahli Arab di Gaza beberapa hari sebelumnya. Rumah Sakit Arab Al-Ahli, didirikan pada tahun 1882, dan dikelola oleh Gereja Episkopal di Yerusalem.
Baca juga : Pejuang Hamas dan Tentara Israel Terlibat Pertempuran Sengit di Daratan Gaza
Kecaman juga datang dari komunitas Kristen Iran. Uskup Seboh Sarkisian didampingi Rabbi Ynuns Hamami Lalezar mengungkapkan kemarahannya terhadap kebrutalan rezim Israel.
Kompleks Gereja Saint Porphyrius telah menjadi sasaran sebelumnya. Pada Juli 2014, gereja tersebut diserang oleh peluru Israel sehingga tangki airnya hancur dan rumah di sekitarnya rusak.
Dua gereja yang tersisa di Gaza sering menjadi sasaran pasukan militer Israel. Pada 2008 Gereja Baptis Gaza mengalami kerusakan parah akibat serangan udara Israel, setelah tujuh pemimpinnya, termasuk pendetanya, terpaksa bermigrasi dari Jalur Gaza.
Kemudian, Gereja Keluarga Kudus Katolik juga menjadi sasaran serangan Israel pada 2014 dan pada 2021 sekolah Rosary Sisters yang berdekatan dirusak oleh serangan udara Israel.
Diperkirakan 1.100 orang Kristen tinggal di Jalur Gaza, dan 50.000 orang lainnya tinggal di wilayah pendudukan Tepi Barat, terutama di Betlehem dan Yerusalem Timur. Semua orang Kristen dari wilayah selatan Levant, terlepas dari apakah mereka berada di Jalur Gaza, Tepi Barat atau di luar negeri, mengidentifikasi diri mereka sebagai warga Palestina.
Saat ini, ratusan ribu umat Kristen Palestina tinggal di seluruh dunia. Sebagian besar di Amerika Latin. Mereka mengungsi karena turut menjadi sasaran pembersihan etnis oleh rezim Zionis.