REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Pengadilan tinggi Jepang mengatakan pemerintah Korea Utara (Korut) bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia terhadap para penggugat yang mengatakan mereka dibujuk untuk pindah ke Korut dengan janji palsu Pyongyang untuk tinggal di "surga di Bumi." Para penyintas korban penipuan ini memuji keputusan tersebut.
"Keputusan tersebut menunjukkan pengadilan Jepang dapat memutuskan pelanggaran hak asasi manusia di Korea Utara, keputusan yang dapat memberikan dampak yang signifikan," kata pengacara dari para penggugat, Kenji Fukuda, Senin (30/10/2023).
Keempat penggugat, termasuk etnis Korea dan Jepang, pindah ke Korut bersama ribuan orang lainnya di bawah program 1959-1984 di mana Korut menjanjikan perawatan kesehatan dan pendidikan gratis, pekerjaan, dan tunjangan lainnya. Namun, mereka mengatakan semua itu tidak tersedia dan mereka sebagian besar ditugaskan untuk melakukan pekerjaan kasar di tambang, hutan, atau pertanian dan dipaksa hidup dalam kondisi yang keras.
Awalnya, lima penggugat mengajukan gugatan pada tahun 2018 ke Pengadilan Distrik Tokyo untuk meminta masing-masing 100 juta yen sebagai kompensasi atas "penipuan dan penahanan ilegal."
Dalam keputusannya Maret 2020 lalu Pengadilan distrik mengakui para penggugat pindah ke Korut karena informasi palsu yang diberikan Korut dan organisasi pro-Korea Utara di Jepang, Chongryon. Namun, putusan tersebut mengatakan kasus itu kedaluwarsa dan pengadilan Jepang tidak memiliki yurisdiksi karena penderitaan para penggugat terjadi di luar Jepang.
Empat penggugat mengajukan banding atas keputusan tersebut. Mereka mengatakan bahwa Jepang memiliki yurisdiksi karena penderitaan mereka dimulai ketika mereka naik kapal di pelabuhan Jepang.
Pengadilan Tinggi Tokyo memutuskan pengadilan Jepang memiliki yurisdiksi atas kasus ini dan menemukan pemerintah Korut melanggar hak-hak para penggugat dengan memaksa mereka untuk hidup dalam kondisi yang menyedihkan dan keras, yang sama sekali berbeda dari informasi yang diberikan sebelum perjalanan mereka.
Pengadilan mengatakan Korut melanggar kebebasan para penggugat untuk memilih tempat tinggal, dan sebagai akibatnya, mereka hampir "dirampas nyawanya."
Pengacara penggugat mengatakan kasus ini sekarang kembali ke Pengadilan Distrik Tokyo, di mana pengadilan akan meninjau sejauh mana kerugian yang harus dibayar pemerintah Korea Utara kepada para penggugat.
Namun, Korut tidak pernah menanggapi gugatan tersebut dan kemungkinan besar tidak akan membayar ganti rugi.
Salah satu penggugat, Eiko Kawasaki, yang kini berusia 81 tahun, berusia 17 tahun ketika dia menaiki kapal ke Korut Utara pada tahun 1960 dan terjebak di sana hingga dia dapat melarikan diri kembali ke Jepang pada tahun 2003. Ia meninggalkan anak-anaknya yang sudah dewasa.
Kawasaki menyeka air matanya dan mengangkat tinjunya sebagai tanda kemenangan di luar pengadilan. Dia kemudian mengatakan keputusan ini adalah kemenangan penuh bagi para korban.
Dalam tayangan di NHK TV, Kawasaki mengatakan dia mempertaruhkan nyawanya untuk melarikan diri dari Korut agar dunia tahu tentang program repatriasi Korut dan bahwa "Saya sangat senang bisa kembali ke Jepang dalam keadaan hidup dan menyaksikan putusan hari ini."
Sekitar setengah juta etnis Korea saat ini tinggal di Jepang dan menghadapi diskriminasi di sekolah, di tempat kerja dan dalam kehidupan sehari-hari. Banyak di antara mereka adalah keturunan orang Korea yang datang ke Jepang, kebanyakan secara paksa, untuk bekerja di tambang dan pabrik selama penjajahan Jepang di Semenanjung Korea - masa lalu yang masih merenggangkan hubungan antara Jepang dan Korea.
Pada tahun 1959, Korut memulai program pemukiman kembali untuk membawa orang Korea di luar negeri ke Korut untuk menggantikan para pekerja yang terbunuh selama Perang Korea. Pemerintah Jepang, yang memandang etnis Korea sebagai orang luar, menyambut baik program tersebut dan membantu mengatur perjalanan orang-orang ke Korut.
Sekitar 93.000 penduduk etnis Korea di Jepang dan anggota keluarga mereka pindah ke Korea Utara. Menurut kelompok yang mendukung para pembelot dari Korea Utara sekitar 150 orang berhasil kembali ke Jepang.