Selasa 31 Oct 2023 08:28 WIB

Layanan Darurat Gaza Berada di Titik Nadir

Pekerja medis di Gaza melakukan pekerjaan ganda menjadi sukarelawan

Rep: Dwina Agustin/ Red: Esthi Maharani
Seorang pria Palestina menggendong seorang anak yang terluka di rumah sakit Najjar menyusul serangan udara Israel terhadap sebuah rumah di Rafah, di Jalur Gaza selatan pada Senin (30/10/2023).
Foto: SAID KHATIB / AFP
Seorang pria Palestina menggendong seorang anak yang terluka di rumah sakit Najjar menyusul serangan udara Israel terhadap sebuah rumah di Rafah, di Jalur Gaza selatan pada Senin (30/10/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Pekerja medis di Gaza melakukan pekerjaan ganda menjadi sukarelawan untuk membantu menjalankan layanan darurat yang terbebani oleh serangan Israel. Ambulans berjuang untuk mencapai lokasi bom melewati jalan yang dipenuhi puing-puing dan dengan persediaan bahan bakar yang semakin menipis.

Staf medis dan darurat telah bekerja dengan sedikit istirahat dan ditempatkan di daerah yang paling berbahaya. Mereka menyaksikan kengerian kematian akibat kekerasan, luka-luka, dan kesedihan yang parah.

Baca Juga

Kementerian Kesehatan Gaza pun telah meminta semua paramedis terlatih untuk membantu staf rumah sakit dan tim bantuan dengan puluhan orang telah merespons. Namun sistem tersebut masih sangat membutuhkan lebih banyak pekerja.

“Saya belum pulang ke rumah sejak hari pertama perang. Saya mandi di sini, tidur di sini, dan makan di sini,” kata Loay al-Astal, seorang pekerja sukarela darurat di Khan Younis, di selatan daerah kantong tersebut.

Relawan yang pernah mengikuti pelatihan di kampus untuk menjadi paramedis menggambarkan sebuah insiden yang membuatnya dan beberapa rekan hampir terbunuh oleh serangan udara yang meledakkan jendela ambulans mereka. “Kacanya pecah dan beberapa relawan kami terluka,” ujarnya.

Astal dihantui oleh kenangan saat mencoba menyelamatkan seorang perempuan yang terkubur mencapai lehernya di reruntuhan dari serangan udara. “Ada luka di kepalanya dan saya segera mengobati lukanya,” kata pria berusia 33 tahun itu.

Sukarelawan pun membebaskan perempuan itu dari reruntuhan sehingga dia dapat menemukan putranya, hanya saja dia meninggal beberapa menit kemudian dengan kondisi masih terjebak di reruntuhan. "Saya merasa tidak enak karena tidak bisa menyelamatkannya," katanya.

Otoritas kesehatan di daerah kantong yang dikelola Hamas mengatakan, serangan udara dan artileri Israel telah membunuh lebih dari 8.000 orang sejak 7 Oktober. Setelah Israel memulai operasi darat pada hari Jumat, banyak warga Gaza khawatir kehancuran akan semakin parah.

Israel telah memerintahkan warga sipil untuk meninggalkan bagian utara Jalur Gaza menuju bagian selatan. Namun tentara Israel terus melakukan pemboman intensif di seluruh wilayah kantong tersebut dan banyak orang menolak untuk pergi.

Penembakan di jalan utama utara-selatan Gaza pada Senin (30/10/2023) menunjukkan bahwa daerah kantong itu terbelah menjadi dua. Setiap upaya untuk melarikan diri ke selatan berisiko terkena pemboman.

Layanan ambulans kewalahan...

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement