REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ungkapan anti-semit kerap dikaitkan dengan orang yang menyerang Yahudi Israel. Namun, seorang sejarawan Inggris keturunan Yahudi Irak, Profesor Avi Shlaim, menjelaskan perbedaan antara anti-zionisme dan anti-semitisme, termasuk bagaimana Israel dan sekutunya sering menyamakan kedua istilah tersebut untuk menegur kritik terhadap kebijakan dan tindakan mereka.
Shlaim mengatakan, anti-semitisme adalah kebencian terhadap orang Yahudi, karena mereka adalah orang Yahudi. Sedangkan anti-zionisme adalah penentangan terhadap ideologi zionis, yang merupakan ideologi resmi Israel, atau yang lebih umum adalah kritik terhadap kebijakan tertentu Pemerintah Israel, khususnya kebijakan pendudukan terhadap Palestina.
"Israel dan negara sekutunya yang sangat berkuasa di seluruh dunia dengan sengaja menyamakan keduanya untuk mengklaim bahwa setiap kritik terhadap negara Israel dan kebijakannya adalah anti-semit," ujar Shlaim, dikutip Middle East Eye.
Shlaim mengatakan, contoh terbaru tuduhan anti-semit Israel terjadi beberapa waktu lalu. Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres membuat pernyataan tegas tentang perlunya gencatan senjata di Gaza. Ketika itu, perwakilan Israel langsung menuduh Guterres melakukan anti-semit.
"Jadi ini adalah gambaran yang sangat jelas mengenai strategi Israel dan kawan-kawannya di seluruh dunia," ujar Shlaim.
Dilaporkan Aljazirah, para pejabat dari pemerintahan Presiden AS Joe Biden telah menyuarakan kekhawatiran atas meningkatnya anti-Semitisme di universitas-universitas Amerika Serikat. Ketegangan antara kelompok pro-Israel dan pro-Palestina bermunculan di kampus-kampus karena perang Israel-Hamas yang sedang berlangsung.
Pekan lalu, Liga Anti-Pencemaran Nama Baik melaporkan peningkatan hampir 400 persen dalam insiden anti-Semit di AS secara keseluruhan sejak 7 Oktober 2023, ketika Hamas melancarkan serangan mengejutkan ke Israel selatan, yang kemudian dibalas dengan pengeboman Israel yang membabi buta di Gaza dan telah menyebabkan lebih dari 8000 warga sipil Palestina meninggal dunia termasuk sekitar 3000 anak-anak.
Dari 312 insiden antara 7 Oktober dan 23 Oktober, sekitar 190 insiden terkait dengan perang. Di tengah melonjaknya angka kematian dan peringatan dari pejabat PBB dan lembaga bantuan mengenai bencana kemanusiaan, puluhan ribu orang mengadakan protes di seluruh dunia untuk menuntut gencatan senjata.
Sementara itu, Dewan Hubungan Amerika-Islam (CAIR) mengatakan, mereka telah menerima 774 pengaduan mengenai insiden yang didorong oleh Islamofobia dan bias terhadap warga Palestina dan Arab sejak 7 Oktober. Kelompok tersebut mengatakan ini adalah tingkat tertinggi sejak 2015.