REPUBLIKA.CO.ID, Kota Gaza – Pesawat tempur Israel terus menyerang rumah sakit di Kota Gaza. Setelah memutuskan jaringan telekomunikasi dan layanan lainnya pada Ahad (5/11/2023) lalu, Kompleks Medis Nasser, yang memiliki empat rumah sakit, mengalami serangan tidak langsung dan langsung dari rudal Israel pada Senin (6/11/2023) malam.
Menurut Kementerian Kesehatan Palestina, setidaknya delapan warga Palestina tewas dalam serangan itu dan puluhan lainnya luka-luka. Kompleks medis tersebut mencakup Rumah Sakit Anak Al-Nasser, Rumah Sakit Khusus Rantisi, Rumah Sakit Mata dan Rumah Sakit Jiwa.
“Tentara (Israel) menelepon beberapa staf kami malam itu dan mengatakan mereka akan membuat sabuk api di sekitar rumah sakit,” kata Suleiman Qaoud, seorang dokter di Rumah Sakit Rantisi kepada Aljazirah.
Sekitar pukul 18.30 (16.30 GMT), pesawat tempur Israel menyerang area antara Rumah Sakit Jiwa dan Rumah Sakit Rantisi, melukai 35 orang, termasuk beberapa staf medis. Dua jam kemudian, RS Rantisi serta sisi tenggara dan timur lautnya terkena serangan.
Bangsal kanker anak-anak yang terletak di sisi timur laut rumah sakit tak luput dari serangan rudal Israel. “Lebih dari 30 anak menerima pengobatan kemoterapi di sana,” kata Qaoud.
Rumah sakit tersebut kemudian diserang untuk ketiga kalinya dengan serangan yang menghantam halaman tempat ambulans dan kendaraan lain diparkir dan tempat keluarga pengungsi berlindung.
“Kami merawat antara 80 dan 100 pasien, dan 700 keluarga pengungsi, yang jumlahnya sekitar 5.000 orang,” kata Qaoud.
“Panel surya dan tangki air juga menjadi sasaran, artinya RS Rantisi tidak memiliki setetes air pun,” ujarnya.
Serangan terhadap rumah sakit memaksa Rabaa al-Radee membawa cucunya yang sakit, Sidra, untuk berobat ke tempat lain. Sidra mengidap penyakit kanker dan kakinya patah akibat kecelakaan saat melarikan diri dari bom Israel yang menghantam sekolah tempat mereka berlindung.
“Kami sampai di RS Kamal Adwan tapi mereka malah menyuruh kami datang ke RS Rantisi,” kata Rabaa. "Sekarang. Rantisi menyuruh kami pergi ke Rumah Sakit Shifa tapi tidak ada ambulans atau mobil di jalan.”
Setidaknya 16 dari 35 rumah sakit di Gaza tidak berfungsi dan 51 dari 72 klinik kesehatan primer di wilayah kantong yang terkepung telah ditutup sepenuhnya. Rumah Sakit Jiwa, satu-satunya di Jalur Gaza, juga tidak mampu lagi merawat pasiennya.
“Kami akan menerima 50 hingga 70 pasien setiap hari, mulai dari mereka yang datang untuk mengambil obat hingga mereka yang datang untuk dirawat karena trauma psikologis akibat suara bom yang terus-menerus,” kata Jamil Suleiman, direktur umum Rumah Sakit Jiwa Gaza.
“Luka di badan bisa sembuh tapi luka psikologis jauh lebih dalam dan perlu perawatan kejiwaan,” ujarnya.
Jika rumah sakit di Gaza terus diserang, kata dia, Dewan Keamanan PBB atau Organisasi Kesehatan Dunia tidak diperlukan. “Jika tidak ada jaminan terhadap hak-hak pasien, maka tidak ada gunanya badan kesehatan internasional hanya menyaksikan suatu populasi dibantai,” katanya.
“Mungkin jika kita adalah binatang, maka kita baru bisa mendapatkan hak-hak kita.”