Rabu 08 Nov 2023 17:28 WIB
Sebulan Genosida Gaza

Di Bawah Ancaman Rudal Israel, Warga Gaza Hidup tanpa Air, Makanan, dan Layanan Kesehatan

Pemboman Israel yang intens di Jalur Gaza, telah menelan korban jiwa 10.328 orang.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Nidia Zuraya
File - Warga Palestina berduka atas kerabat mereka yang meninggal dalam pemboman Israel di Jalur Gaza, di depan kamar mayat di Deir al Balah, 31 Oktober 2023.
Foto: AP Photo/Fatima Shbair
File - Warga Palestina berduka atas kerabat mereka yang meninggal dalam pemboman Israel di Jalur Gaza, di depan kamar mayat di Deir al Balah, 31 Oktober 2023.

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA --- Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengatakan bahwa layanan kesehatan, sanitasi, air, dan makanan di daerah kantong tersebut sudah mendekati 'titik kritis'. Pengeboman Israel yang intens di Jalur Gaza, telah menyebabkan korban jiwa 10.328 warga Palestina, termasuk 4.237 anak-anak, sejak perang dimulai pada tanggal 7 Oktober. 

Kementerian Kesehatan di Gaza mengatakan, jumlah korban luka-luka telah meningkat menjadi 25.965 orang. Pada tanggal 9 Oktober, militer Israel mengumumkan blokade total terhadap daerah kantong yang sudah terkepung, termasuk larangan air dan makanan. 

Baca Juga

Dua hari kemudian, mereka memutus aliran listrik dan membatasi masuknya bantuan dan bahan bakar. Diperkirakan 1,5 juta orang telah mengungsi, dan kondisi mereka semakin genting karena kurangnya pasokan penting.

Kekurangan Air yang Parah

Kelompok-kelompok hak asasi manusia telah memperingatkan selama bertahun-tahun tentang situasi air yang memburuk di Jalur Gaza. Pada tahun 2021, Institut Global untuk Air, Lingkungan dan Kesehatan dan Pemantau Hak Asasi Manusia Euro-Mediterania menggambarkan air Gaza "tidak dapat diminum", dengan 97 persen airnya tidak layak untuk dikonsumsi.

Sekarang, kurangnya listrik berarti alat desalinasi dan pabrik pengolahan air limbah tidak dapat beroperasi, yang semakin membahayakan akses ke air minum yang aman. Kemudian pada tanggal 4 November, Israel menghancurkan sebuah penampungan air di Gaza utara dan juga sebuah tangki air umum yang memasok beberapa lingkungan di selatan.

Banyak orang meminum air yang tercemar dan asin serta mengantri berjam-jam dengan harapan mendapatkan air yang dapat diminum. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan bahwa antara 50 hingga 100 liter air per orang per hari dibutuhkan - tetapi WHO mengatakan bahwa rata-rata alokasi harian di Gaza hanya tiga liter untuk semua kebutuhan sehari-hari, termasuk untuk minum dan kebersihan.

Kekurangan air mempengaruhi tubuh dengan dehidrasi, yang terjadi dengan cepat pada anak-anak dan sering kali bisa mematikan. Seseorang dapat mengalami pusing dan denyut nadi berdebar-debar karena jantung harus memompa lebih cepat untuk mempertahankan oksigen. Dehidrasi dapat membunuh bayi dalam lingkungan yang penuh tekanan dalam beberapa jam, dan orang dewasa yang sehat dalam dua hingga empat hari.

Ketidakcukupan Makanan 

Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) mengatakan bahwa 80 persen populasi di Jalur Gaza sudah mengalami kerawanan pangan sebelum dimulainya serangan pada tanggal 7 Oktober. Hampir setengah dari 2,3 juta penduduk bergantung pada bantuan pangan dari Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA).

Sebelum 7 Oktober, rata-rata sekitar 500 truk diizinkan masuk ke Gaza setiap harinya. Menurut Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA), sejak 21 Oktober, setidaknya 451 truk telah memasuki Gaza, di mana 158 di antaranya mengangkut makanan. 

Beberapa bahan makanan yang diangkut, termasuk ikan kaleng, pasta, tepung terigu, pasta tomat kaleng, dan kacang-kacangan kaleng; 102 mengangkut pasokan kesehatan; 44 mengangkut air dan produk kebersihan; 32 mengangkut barang-barang non-makanan; dan delapan mengangkut pasokan nutrisi.

Truk-truk lainnya membawa kargo campuran. Sementara itu, pasokan bahan bakar masih belum diizinkan masuk ke Gaza. Larangan pasokan bahan bakar ini, berdampak serius pada rumah sakit yang masih berfungsi dan mempertaruhkan nyawa ribuan warga Gaza yang terluka.

Program Pangan Dunia (WFP) mengatakan bahwa persediaan makanan di Gaza hampir habis, dengan persediaan yang tersisa hanya tinggal lima hari. Untuk setiap orang yang telah menerima bantuan pangan WFP, setidaknya ada enam orang lainnya yang membutuhkan.

Toko-toko roti yang masih beroperasi harus memproduksi enam kali lipat dari kapasitas normal mereka. Di mana warga harus mengantre selama 4-6 jam untuk mendapatkan roti, dan juga membuat mereka rentan terhadap serangan Israel.

Ancaman Kelaparan dan Malanutrisi

Setiap tubuh manusia membutuhkan makanan seimbang yang diperkaya dengan vitamin untuk mempertahankan fungsi yang optimal. Pada anak-anak, kekurangan gizi dapat dirasakan lebih cepat karena pertumbuhan dan perkembangan otak mereka bergantung pada nutrisi yang mereka terima.

Menurut WHO, kekurangan makanan atau kekurangan gizi pada anak-anak menyebabkan terhambatnya pertumbuhan, kurus, dan masalah-masalah yang berkaitan dengan berat badan kurang. Kekurangan gizi mencegah anak-anak mencapai potensi fisik dan kognitif mereka dan membuat mereka lebih rentan terhadap penyakit dan kematian.

Gizi yang tidak memadai selama kehamilan juga dapat meningkatkan risiko melahirkan bayi yang terhambat pertumbuhannya.

Akses ke Layanan Kesehatan Hancur

WHO mengatakan bahwa wanita dan anak-anak menanggung beban akibat pemboman terhadap fasilitas kesehatan di Gaza dan kurangnya pasokan. Para wanita melahirkan bayi di mana pun mereka bisa, tidak dapat mengakses fasilitas kesehatan untuk melahirkan di lingkungan yang bersih, dan para dokter harus melakukan operasi caesar tanpa anestesi.

Setidaknya 180 wanita melahirkan setiap hari. Kematian ibu dan bayi baru lahir meningkat karena kurangnya perawatan kritis. Tempat penampungan UNRWA yang penuh sesak melaporkan adanya kasus infeksi saluran pernapasan akut, diare, dan cacar air. 

Dengan fasilitas yang melebihi kapasitas, orang-orang kini tinggal di jalanan. WHO telah melaporkan setidaknya 22.500 kasus infeksi saluran pernapasan akut dan 12.000 kasus diare, yang dapat mematikan pada anak-anak yang menderita dehidrasi dan kekurangan makanan. Para dokter harus menggunakan cuka sebagai disinfektan - dan sekrup serta jarum jahit untuk operasi.

Dr Ahmed Mokhallalati dari Rumah Sakit al-Shifa mengatakan bahwa sistem yang ada di rumah sakit tersebut runtuh dan perawatan di tempat yang steril sangat terbatas. "Lalat memenuhi rumah sakit, Anda akan melihat belatung yang keluar dari luka-luka pasien," katanya.

Satu-satunya rumah sakit kanker di Gaza terpaksa ditutup karena kurangnya bahan bakar, dan pasien dengan kebutuhan kritis seperti dialisis dan bayi yang membutuhkan peralatan perawatan intensif sangat terpengaruh.

Sejak 3 November, generator listrik utama di Rumah Sakit al-Shifa dan Rumah Sakit Indonesia berhenti bekerja. Sementara itu, pesawat-pesawat tempur Israel terus menyerang rumah sakit dan daerah-daerah di sekitarnya, tempat penampungan para pasien, petugas kesehatan, dan ratusan orang yang melarikan diri dari konflik dengan berlindung di sekitar rumah sakit. (AlJazeera)

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement