REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Negara-negara Arab memang menentang serangan yang memakan 10 ribu korban jiwa di Gaza sejak 7 Oktober. Namun sikap itu banyak mendapatkan pertanyaan dari berbagai pihak, mengapa mereka tidak mengambil sikap lebih jauh?
Menurut Direktur Penelitian dan Analisis di Arab Center Washington DC Imad K Harb, kondisi ini bermula ketika rezim-rezim Arab, baik republik maupun monarki, menjadi lebih mapan. Daya tarik dan manfaat perjuangan Palestina bagi para pemimpin Arab perlahan-lahan mulai memudar.
Padahal saat pasukan Zionis memulai pembersihan etnis di Palestina untuk mendirikan negara Israel pada 1948, penderitaan rakyat Palestina mengejutkan dunia Arab. Hal ini membuat marah negara-negara Arab yang berada di tengah perjuangan anti-kolonial dan mengangkat status pembebasan Palestina menjadi perjuangan pan-Arab.
Pengabaian terhadap Palestina berhubungan langsung dengan sifat tidak demokratis rezim Arab. Kondisi ini ditambah dengan ketergantungan politik yang terus berlanjut pada Amerika Serikat (AS), pendukung utama Israel dan proyek kolonial pemukimnya.
Palestina saat ini tampak seperti sebuah renungan dalam tatanan politik Arab. Banyak negara yang berdamai dan menormalisasi hubungan dengan Israel, termasuk yang terbaru adalah seperti Uni Emirat Arab dan Bahrain pada 2020.
"Seiring dengan semakin otoriter dan mengakarnya pemerintahan Arab, ruang advokasi bagi perjuangan Palestina semakin menyusut. Meningkatnya pengawasan atas wacana publik, meningkatnya sensor dan meningkatnya kekerasan politik telah membungkam perbedaan pendapat di dunia Arab," ujar Harb dikutip dari Aljazirah.
Menurut Harb, dukungan resmi negara-negara Arab hanya sebatas retorika yang menipu dan isyarat simbolis untuk menghindari konfrontasi dengan Israel dan pendukungnya, AS. Contoh saja, hingga saat ini mereka hanya membuat pernyataan mengecam tindakan pembantaian Israel terhadap warga Gaza, tetapi tetap menjalankan diplomasi dan kebutuhan lainnya bersama Israel dan sekutunya.
Kondisi ini sebenarnya sempat disinggung sudah jauh hari oleh Presiden Mesir Anwar Sadat pada 1977. Sadat menyindir bahwa Washington memegang “99 persen kendali” di Timur Tengah. Penyataan ini pun menunjukan hasil perjanjian perdamaian antara Mesir dan Israel yang ditengahi AS.
"Tindakan terbesar yang dilakukan pemerintah negara-negara Arab dalam menanggapi agresi Israel adalah mengeluarkan kecaman dan protes yang sia-sia," kata Harb.
Tapi, Harb pun menyoroti alasan lain yang semakin membuat jarak dukungan terhadap Palestina. Sejak 2007, ketika Hamas mengambil alih pemerintahan di Jalur Gaza dari Otoritas Palestina (PA) yang dikendalikan oleh Fatah, Palestina belum memiliki kepemimpinan politik yang bersatu.
Lebih buruk lagi, PA yang merupakan badan yang diakui secara internasional yang mengatur wilayah Palestina yang diduduki, telah kehilangan hampir seluruh legitimasinya di mata masyarakat Palestina. Perpecahan tidak hanya menguntungkan Israel tetapi menjadi alasan yang tepat bagi rezim-rezim Arab untuk tidak mendukung perjuangan Palestina.
"Mereka dengan sinis beralasan bahwa jika warga Palestina yang selama bertahun-tahun menuntut independensi dalam memutuskan urusan mereka sendiri tidak mempunyai pendirian yang bersatu, mengapa dan bagaimana dunia Arab dapat bekerja demi kepentingan mereka?" ujar Harb.
Israel percaya negara-negara Arab terpecah belah ...