Ahad 12 Nov 2023 16:57 WIB

Dunia Menyaksikan Pembantaian di Palestina dengan Marah dan Putus Asa

Protes global yang menunjukkan solidaritas terhadap rakyat Palestina melonjak

Rep: Dwina Agustin/ Red: Esthi Maharani
Ribuan massa mengikuti Aksi Damai Aliansi Rakyat Indonesia Bela Palestina di Kawasan Monas, Jakarta, Ahad (5/11/2023). Dalam aksi tersebut mereka mengecam Serangan Israel ke Palestina yang telah menewaskan ribuan warga Palestina.
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Ribuan massa mengikuti Aksi Damai Aliansi Rakyat Indonesia Bela Palestina di Kawasan Monas, Jakarta, Ahad (5/11/2023). Dalam aksi tersebut mereka mengecam Serangan Israel ke Palestina yang telah menewaskan ribuan warga Palestina.

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Protes global yang menunjukkan solidaritas terhadap rakyat Palestina melonjak di seluruh dunia. Mereka menuntut diakhirinya serangan Israel di Gaza dan segera dilaksanakannya gencatan senjata.

Skala demonstrasi di kota-kota seperti Washington, London, New York, Paris, Athena dan seluruh dunia Arab menggarisbawahi meningkatnya kemarahan terhadap kekerasan yang sedang berlangsung dan krisis kemanusiaan di Gaza. Protes tersebut dipicu oleh pengeboman Israel yang intens, pengungsian besar-besaran, dan serangan terhadap rumah sakit serta sekolah.

Baca Juga

Kementerian Kesehatan di Gaza melaporkan, 10.812 orang telah terbunuh dalam perang selama berminggu-minggu antara Israel dan kelompok Hamas yang menguasai wilayah Palestina. Dari korban tersebut, setidaknya 4.412 adalah anak-anak.  Sementara itu, 26.905 orang lainnya menderita luka-luka.

Setelah lebih dari sebulan serangan udara tanpa henti, PBB menyatakan, ratusan ribu orang masih terjebak di daerah konflik perkotaan. Mereka menghadapi bencana kemanusiaan yang parah dengan akses yang tidak mencukupi terhadap makanan, air, listrik, dan perawatan medis.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu secara konsisten menolak seruan gencatan senjata dengan Hamas. Dia  menyebut mereka sebagai bagian dari “poros kejahatan” yang dipimpin oleh Iran.

Netanyahu pun mengesampingkan gencatan senjata sementara di Jalur Gaza yang terkepung dan menekankan kelanjutan aktivitas militer. Dia bersikeras akan melakukan gencatan senjata jika pembebasan sandera dilakukan.

Israel dan Hamas saat ini terlibat dalam negosiasi tidak langsung yang difasilitasi oleh Qatar. Diskusi dipusatkan pada potensi gencatan senjata yang berlangsung antara satu hingga tiga hari, terkait dengan pembebasan sekitar 10 hingga 15 sandera.

Sedangkan di Amerika Serikat (AS), pemerintahan Joe Biden menghadapi tekanan yang meningkat secara domestik dan internasional untuk mengadvokasi gencatan senjata dalam konflik Israel-Hamas. Anggota Partai Demokrat, termasuk kaum progresif, mendesak Biden untuk menggunakan pengaruhnya dalam mendorong resolusi, dengan menekankan dampak kemanusiaan dan korban sipil.

Meskipun Israel memiliki tujuan untuk membubarkan Hamas dan dukungan bipartisan yang tak tergoyahkan di Kongres untuk membela diri, terdapat tekanan eksternal yang semakin besar terhadap AS untuk memprioritaskan gencatan senjata. Emosi memuncak di Gedung Putih ketika dampaknya dirasakan secara global.

Israel setuju untuk menerapkan jeda empat jam setiap hari di Gaza utara untuk memfasilitasi upaya kemanusiaan sejak Kamis (9/11/2023). Gedung Putih mengumumkan perjanjian tersebut dengan menetapkan bahwa Israel akan memberikan pemberitahuan setidaknya tiga jam sebelum setiap jeda.

Juru bicara Dewan Keamanan Nasional AS John Kirby menyatakan, kesepakatan ini akan memungkinkan pergerakan bantuan kemanusiaan kepada mereka yang membutuhkan. Dia juga menyebutkan bahwa Israel membuka koridor kedua bagi warga sipil untuk meninggalkan daerah yang menjadi fokus kampanye militernya melawan Hamas.

AS masih tidak mendukung gencatan senjata dengan alasan gencatan senjata akan memberikan waktu bagi Hamas untuk mengumpulkan kembali kekuatannya.

“Keterlambatan dalam mencapai gencatan senjata dipengaruhi oleh sikap Israel, yang bertujuan untuk menyelesaikan misinya menghilangkan infrastruktur Hamas di Gaza dan berpotensi memaksa kepemimpinan mereka keluar. Meskipun ada upaya Amerika, pemerintah Israel tetap pantang menyerah,” ujar pendiri dan ketua eksekutif Beirut Institute Raghida Dergham dikutip dari Al Arabiya.

Perlu tekanan ganda ke Israel...

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement