REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Puing-puing terus berjatuhan dari bangunan-bangunan yang hancur dan mengeluarkan bau yang sangat menyengat. Setiap hari, ratusan orang mengangkat berton-ton puing dengan sekop dan batang besi serta tangan kosong.
Mereka mencari jenazah anak, orang tua, tetangga, semua yang gugur dalam serangan rudal Israel. Jenazah itu ada di sana, di suatu tempat di reruntuhan Gaza.
Lebih dari lima minggu setelah Israel berperang tanpa henti melawan Hamas, beberapa jalan kini lebih seperti kuburan. Israel mengatakan, pihaknya melancarkan operasinya terhadap Hamas sebagai tindakan balasan atas penyerbuan tidak terduga pada 7 Oktober.
Tapi, justru korban dari tindakan Israel adalah warga Palestina. Kantor urusan kemanusiaan PBB memperkirakan, sekitar 2.700 orang, termasuk 1.500 anak-anak, hilang dan diyakini terkubur di reruntuhan. Lebih dari 11.200 warga Palestina, dua pertiganya adalah perempuan dan anak-anak, telah dipastikan dibunuh oleh Israel di Gaza sejak dimulainya perang.
Para pejabat di Gaza mengatakan, mereka tidak memiliki peralatan, tenaga, atau bahan bakar untuk mencari korban yang masih hidup, apalagi yang meninggal. Pencarian sangat sulit dilakukan di Gaza utara, termasuk Gaza City. Terlebih lagi pasukan darat Israel sebagian besar telah mengambil kendali di sana.
Seruan pertempuran dan evakuasi yang dilakukan militer Israel telah menyebabkan ratusan ribu warga sipil melarikan diri ke bagian selatan Gaza. Namun bahkan di wilayah selatan, serangan udara dan penembakan Israel yang terus berlanjut membuat tidak ada tempat yang aman di wilayah kantung itu.
Departemen Pertahanan Sipil Palestina menyatakan, dua lusin orang dari pasukan pencarian dan penyelamatan utama di Gaza telah meninggal akibat serangan. Sedangkan 100 pekerja lainnya terluka. Lebih dari separuh kendaraannya kini kehabisan bahan bakar atau rusak.
Sedangkan di Gaza tengah, area luar zona pertempuran utara, direktur pertahanan sipil di wilayah tersebut Brigjen. Rami Ali al-Aidei menyatakan, tidak memiliki alat berat yang berfungsi sama sekali, termasuk buldoser dan crane. Setidaknya lima buldoser besar diperlukan hanya untuk mencari serangkaian bangunan tinggi yang runtuh di kota pesisir Deir al-Balah.
Ini berarti bahwa jenazah dan orang-orang yang putus asa mencarinya bukanlah fokusnya. “Prioritas setelah pemboman adalah bagi mereka yang selamat dibandingkan para martir,” kata al-Aidei.
“Tapi setelah mengevakuasi mereka yang masih hidup dan terluka dari lokasi yang menjadi sasaran, kami berupaya mengevakuasi para martir," ujarnya merujuk pada sebutan bagi sosok yang gugur dalam serangan Israel.
Fokus ini pun membuat pencarian jenazah yang terkubur di reruntuhan seringkali dilakukan oleh kerabat atau relawan seperti Bilal Abu Sama. “10 jenazah syahid telah dikeluarkan, dan sejumlah besar jenazah masih berada di bawah reruntuhan,” kata mantan jurnalis lepas itu dikutip dari Aljazirah.
Pria berusia 30 tahun ini menggambarkan momen saat keluarganya menggali reruntuhan bangunan tempat tinggal bibinya tanpa peralatan apa pun. Hasilnya adalah komunitas yang menjadi akrab dengan momen-momen horor.
Sedangkan di kamp pengungsi Bureij, Ezz al-Deen mencari jenazah ayahnya. “Ketika seseorang kehilangan ayahnya, dia merasa ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya,” kata al-Din.
“Jika dia tetap di sini (di bawah reruntuhan) saya tidak akan bersantai dan akan bermimpi tentang dia setiap malam, dan itu akan menjadi mimpi buruk," ujarnya yang terus mencari sosok tubuh yang selalu diingatnya.
Jika jenazah ditemukan, banyak yang sudah tidak berbentuk. Jenazah dengan kondisi membusuk dengan tulang terlihat dan bau tak tertahankan setelah berhari-hari tergeletak di bawah reruntuhan bangunan yang dibom.
Sebagai pengurus jenazah di rumah sakit Al-Aqsa Martyrs Abu Saher al-Maghari, pemandangan itu sangat memilukan. Pria berusia 53 tahun yang berpenampilan tenang itu telah 15 tahun menyelimuti jenazah di rumah sakit tetapi sejak serangan Israel al-Maghari telah menyaksikan gelombang besar jenazah, banyak dari mereka dimutilasi dan tidak berbentuk.
“Selama bertahun-tahun bekerja, saya selalu menyembunyikan 30 hingga maksimum 50 kematian alami setiap hari, dan dalam kasus eskalasi militer Israel sebelumnya, jumlahnya mungkin mencapai sekitar 60,” kenang al-Maghari membandingkan dengan saat ini membuatnya menyelimuti sekitar 100 jenazah, terkadang jumlahnya bisa bertambah hingga 200.