Senin 20 Nov 2023 13:03 WIB

Warga Gaza Beralih Gunakan Gerobak yang Ditarik Hewan Sebagai Alat Transportasi

Puluhan gerobak terlihat membawa warga dan pengungsi menuju ke wilayah selatan Gaza.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Nidia Zuraya
Warga Palestina mengungsi ke Jalur Gaza selatan di Jalan Salah al-Din di Bureij, Jalur Gaza, pada Rabu, (8/11/2023).
Foto: AP Photo/Hatem Moussa
Warga Palestina mengungsi ke Jalur Gaza selatan di Jalan Salah al-Din di Bureij, Jalur Gaza, pada Rabu, (8/11/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Beberapa minggu lalu, gerobak yang ditarik keledai dan kuda merupakan pemandangan langka di Jalur Gaza. Penjual hasil bumi dan produk lainnya akan berkeliaran di jalanan yang biasanya dipenuhi mobil untuk mencari pelanggan.

Namun, ketika militer Israel melancarkan serangan di Gaza dan mengepung wilayah yang sudah diblokade, kekurangan bahan bakar membuat orang-orang tidak bisa bergerak di sekitar Jalur Gaza dengan mobil. Masyarakat kini terpaksa bergantung pada gerobak yang digerakkan oleh hewan sebagai alat transportasi utama.

Baca Juga

Di salah satu jalan Deir al-Balah yang biasanya lebih sibuk, di Jalur Gaza tengah, mobil jarang terlihat. Sebaliknya, puluhan gerobak terlihat membawa warga dan pengungsi.

Sejak dimulainya perang skala besar, Israel telah mengurangi pasokan bahan bakar dan gas ke daerah kantong tersebut. Kondisi itu membuat sebagian besar mobil tidak dapat digunakan pada minggu ketujuh serangan tersebut.

“Hari demi hari, semakin banyak pemilik mobil yang kehabisan bahan bakar dan tidak dapat menemukan alat transportasi lain. Gerobak ini ditarik oleh hewan, karena mereka tidak membutuhkan bahan bakar atau gas. Ini menjadi cara penting bagi kami untuk mengatasi situasi saat ini," ujar pemilik kereta dan kuda Abu Mohammed Azaiza dikutip dari Middle East Eye.

Azaiza menceritakan, sebelum perang, warga hanya menggunakan gerobak untuk berkeliling lingkungan dan menjual sayuran, buah-buahan, dan produk-produk tertentu. "Saat ini, masyarakat membutuhkannya sebagai alat transportasi karena kita telah mencapai titik di mana tidak ada taksi, dan pemilik mobil tidak bisa mencari bahan bakar," katanya.

Penduduk Jalur Gaza tengah yang berusia 34 tahun ini mengatakan, dalam beberapa minggu terakhir, dia memperoleh keuntungan lebih besar dibandingkan empat tahun terakhir. “Saya tidak senang dengan keuntungan yang didapat dan jika saya diberi pilihan untuk menyerahkan semua uang yang saya hasilkan untuk menghentikan perang, saya akan memilih untuk menyerahkannya,” ujar Azaiza.

Azaiza mengenang krisis bahan bakar di masa lalu yang disebabkan oleh perang Israel, terutama pada 2009 dan 2014, dan penutupan perbatasan. Namun, di menilai, situasinya jarang mencapai titik hampir tidak ada mobil di jalanan.

“Saya yakin saat ini adalah saat yang paling sulit karena sudah lebih dari 40 hari berlalu dan tidak ada yang tahu berapa lama situasi ini akan berlangsung, bahkan pasukan pendudukan (Israel) pun tidak tahu,” kata Azaiza.

Sebelum penyerangan Israel, gerobak dianggap sebagai alat transportasi lokal yang hanya digunakan oleh masyarakat sangat miskin dan terpinggirkan. Saat ini, semua lapisan masyarakat sangat mengandalkannya.

“Saya membawa dokter ke rumah sakit dengan kereta saya dua minggu lalu. Dia memberi tahu saya bahwa dia memiliki mobil yang digunakan selama tiga minggu pertama perang, sebelum dia kehabisan bahan bakar dan tidak dapat menemukannya di mana pun,” kata Azaiza.

"Dia harus berpindah antara rumah sakit dan rumahnya setiap beberapa hari, jadi dia tidak bisa menemukan jalan lain selain gerobak," ujarnya.

Penduduk Jalur Gaza bagian utara dan Gaza City tidak dapat meninggalkan rumah karena tank-tank Israel telah mengepung jalan-jalan utama dan paling vital. Namun, penduduk yang berada di Jalur Gaza tengah dan selatan masih dapat bergerak di antara kedua wilayah tersebut. Namun, pergerakan ini memiliki risiko tinggi dengan menjadi sasaran pesawat militer atau kapal perang Israel.

Souq atau area pasar di Deir al-Balah penuh sesak pada siang hari, sebagian besar adalah pengungsi yang meninggalkan rumah di Gaza City tanpa membawa pakaian, selimut, atau makanan yang mereka simpan pada awal pengeboman. Untuk membeli kebutuhan pokok dari Souq, orang-orang dari berbagai daerah di Jalur Gaza tengah datang dengan “taksi”.

“Saya belum pernah naik kereta dalam hidup saya sebelumnya, dan gagasan untuk bergerak dengan kereta yang ditarik oleh keledai pada awalnya lucu, tapi sekarang saya telah naik taksi beberapa kali sejak kami tiba di Deir al-Balah," ujar pengungsi warga Gaza City Mona Aklouk.

“Kalau tidak, kami harus berjalan jauh untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Sekitar dua atau tiga minggu yang lalu, tidak biasa melihat banyak gerobak berkeliaran di jalanan sebagai alat transportasi. Jadi, saya biasa berjalan sekitar lima hari, setiap hari untuk mencapai pasar sayur," katanya.

Sejak minggu pertama serangan Israel, semua pompa bensin dan bahan bakar di sekitar Jalur Gaza telah ditutup. Israel telah melarang masuknya bahan bakar dari Mesir dan mengancam akan menargetkan setiap truk bahan bakar atau bantuan yang memasuki wilayah tersebut melalui perbatasan Rafah tanpa persetujuan sebelumnya.

Tindakan itu menyebabkan krisis transportasi dan menghambat kerja lembaga bantuan di wilayah yang terkena dampak bencana. Pelarangan bahan bakar pun pada akhirnya menyebabkan krisis yang mempengaruhi seluruh aspek kehidupan sehari-hari warga.

Setelah kehabisan gas untuk memasak, mayoritas warga kini mengandalkan batu bara dan kayu untuk membuat api memasak. "Semuanya telah berubah dalam aktivitas hidup kami sehari-hari. Kami meninggalkan rumah kami dan membiarkan semuanya normal. Saya punya gas untuk memasak di rumah saya di Gaza City, tetapi siapa yang bisa kembali dan membawanya sekarang? Tank-tank tersebut mengepung lingkungan kami," ujar Aklouk.

Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) mengatakan, pihaknya menerima 23.027 liter bahan bakar dari Mesir di bawah pembatasan ketat yang diberlakukan oleh otoritas Israel. Jumlah tersebut hanya akan digunakan untuk mentransfer bantuan dari Rafah ke wilayah lain di Gaza.

Badan PBB tersebut menyatakan, jumlah tersebut hanya mewakili sekitar sembilan persen dari kebutuhan hariannya untuk melanjutkan aktivitas penyelamatan nyawa di Jalur Gaza. “Penggunaan bahan bakar sebagai senjata perang harus segera dihentikan,” katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement