Selasa 21 Nov 2023 00:37 WIB

Pengamat: Isu Tibet Bisa Ganjal Cina

PBB menyebut Cina telah memisahkan sekitar 1 juta anak Tibet dari keluarga mereka

 A Tibetan Youth Congress (TYC) activist shouts after being detained outside the Chinese embassy in New Delhi, India, 10 March 2023. TYC activists protested outside the Chinese embassy in New Delhi to commemorate the 64th anniversary of the Tibetan National Uprising Day.
Foto: EPA-EFE/RAJAT GUPTA
A Tibetan Youth Congress (TYC) activist shouts after being detained outside the Chinese embassy in New Delhi, India, 10 March 2023. TYC activists protested outside the Chinese embassy in New Delhi to commemorate the 64th anniversary of the Tibetan National Uprising Day.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berencana mengadakan Tinjauan Berkala Universal (Universal Periodic Review/UPR) yang akan mengkaji perilaku hak asasi manusia negara-negara anggota PBB. Rencana tersebut akan dilakukan PBB pada awal Tahun 2024 mendatang, salah satunya Cina. 

Sejumlah pengamat memperkirakan langkah PBB ini akan semakin membuat Cina tidak nyaman, mengingat saat ini China banyak mendapat kritik internasional atas rekam jejak mereka di Tibet.

Center for Indonesian Domestic and Foreign Policy Studies (CENTRIS), menilai sangat wajar jika banyak pengamat dan aktivis yang khawatir dengan nasib serta masa depan Tibet. Sekolah-sekolah berasrama kolonial akan menimbulkan dampak psikologis dan trauma emosional yang sangat besar terhadap anak-anak Tibet, berdampak pada seluruh generasi warga Tibet dan keberlangsungan identitas Tibet dalam jangka panjang, demikian prediksi laporan tersebut dengan suram. 

Peneliti senior CENTRIS, AB Solissa mengatakan PBB sendiri menyebut Cina telah memisahkan sekitar 1 juta anak Tibet dari keluarga mereka. Beijing disebut hendak menempatkan di sekolah berasrama khusus yang dikelola oleh otoritas Tiongkok.“Pemisahan itu disinyalir menjadi bagian dari upaya Tiongkok 'mencuci otak' anak-anak Tibet secara budaya, agama dan bahasa, agar generasi masa depan Tibet menyerap budaya Han Tiongkok yang dominan,” kata AB Solissa kepada wartawan, Senin (20/11/2023).

Mewakili PBB, lanjut AB Soliisa, pakar hak asasi manusia (HAM) antara lain Fernand de Varennes yang fokus dalam isu-isu minoritas dan Farida Shaheed, pelopor khusus tentang hak atas pendidikan, telah menyuarakan peringatan atas penerapan asimilasi paksa yang menindas.

Sistem pendidikan di Tibet pada dasarnya telah menjadi tempat tinggal menurut data resmi Tiongkok, dan sekitar 800.000 siswa Tibet berusia 6-18 tahun (78%) tinggal di sekolah-sekolah tersebut. Para orang tua Tibet disebut terpaksa mengirim anak-anak mereka ke sekolah-sekolah tersebut karena kurangnya alternatif, dan juga karena ancaman dan intimidasi dari pihak berwenang.

“Akibatnya, para siswa berisiko kehilangan bahasa asli mereka karena sebagian besar kelas menggunakan bahasa Tionghoa, tidak dapat menjalankan agamanya, dan tunduk pada kurikulum yang sangat dipolitisasi untuk menjadikan mereka mengidentifikasi diri mereka sebagai orang Tionghoa,” ujar AB Solissa.

CENTRIS berharap  masyarakat dunia khususnya Indonesia tidak boleh diam dengan melihat aksi Beijing meluluhlantakkan peradaban Tibet, terutama kepada anak-anak yang sejatinya adalah masa depan bangsa Tibet.Selain temuan PBB, CENTRIS mengklaim mereka juga mendapatkan informasi dari berbagai media yang menyebutkan sekolah berasrama kolonial Beijing di Tibet adalah pusat pendidikan dan pelatihan sejak 2016.

Dari berbagai laporan sejumlah media massa disebutkan, Beijing tengah berupaya menghapus budaya, kepercayaan, dan tradisi Tibet, yang hingga saat ini tetap di pegang teguh oleh masyarakat pribumi di sana.

Laporan Human Right Watch menyebutkan, otoritas di wilayah Tibet terus membatasi kebebasan beragama, berekspresi, bergerak, dan berkumpul. Mereka juga gagal mengatasi kekhawatiran masyarakat mengenai pertambangan dan perampasan tanah yang dilakukan oleh pejabat setempat, yang sering kali melibatkan intimidasi dan penggunaan kekerasan yang melanggar hukum oleh aparat keamanan.

Menyusul pengumuman pada bulan November 2020 yang memperketat kontrol pada komunikasi online yang “merusak persatuan nasional,” terdapat lonjakan laporan penahanan warga Tibet pada tahun 2021 karena dugaan pelanggaran online. Secara khusus, warga Tibet yang berkomunikasi dengan orang-orang di luar China akan dilecehkan dan dihukum, apa pun isi komunikasi mereka.

Pemerintah meningkatkan kebijakan asimilasi yang bersifat memaksa. Kelas bahasa Mandarin sudah diwajibkan bagi guru sekolah, pejabat setempat, dan peserta pelatihan kejuruan. Pada bulan Juli, pihak berwenang mengumumkan bahwa taman kanak-kanak di wilayah etnis minoritas harus menggunakan bahasa Mandarin sebagai bahasa pengantar. Pada bulan Agustus, Presiden Xi menekankan subordinasi identitas minoritas ke dalam satu identitas nasional pada konferensi nasional “Pekerjaan Etnis”.

Pihak berwenang meningkatkan pengawasan dan intimidasi di semua tingkatan, mulai dari daring, lingkungan, hingga sekolah, dan telah menyebabkan protes—seperti protes terhadap penurunan peringkat bahasa minoritas di Mongolia yang selama tahun 2020—hampir tidak mungkin dilakukan di wilayah Tibet.

HRW juga menyebutkan, a delapan tahanan atau tersangka Tibet dibebaskan karena kesehatan yang buruk, beberapa karena penyiksaan, empat di antaranya meninggal tak lama kemudian, meskipun jumlah sebenarnya tidak diketahui karena kontrol informasi yang ekstrim di Tibet.

Hal ini termasuk secara paksa mengeluarkan anak-anak Tibet dari rumah dan komunitas mereka, dan mengurungnya di sekolah berasrama dengan tujuan utamanya melakukan sinisasi generasi muda Tibet. Para aktivis Tibet di India dan belahan dunia lainnya yang khawatir dengan situasi ini, kemudian membuat laporan dalam bentuk buku, yang mencerminkan kekhawatiran atas nasib generasi masa depan Tibet.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement