Selasa 21 Nov 2023 13:35 WIB

Ketika Kepala Intelijen Israel Akui Negaranya tak Akan Pernah Menang Melawan Hamas

Israel tidak mungkin memenangi perang melawan Hamas dengan cara militer

Rep: Andrian Saputra/ Red: Esthi Maharani
Israel tidak mungkin memenangi perang melawan Hamas dengan cara militer
Foto: EPAEPA-EFE/MOHAMMED SABER
Israel tidak mungkin memenangi perang melawan Hamas dengan cara militer

REPUBLIKA.CO.ID, Hamas (Harakah Al Muqawwamah Al Islamiyyah) lebih sering dipotret dalam wajah yang garang, tanpa hati, dan belas kasih. Padahal, sesungguhnya kelompok yang didirikan oleh Syekh Yassin ini banyak mengadakan aktivitas yang jauh dari kekerasan. 

Mereka mengajarkan agama kepada generasi muda Palestina. Misalnya, mereka mengajarkan berwudhu secara baik dan benar, membaca Alquran dengan tajwid yang tepat, dan mengungkap makna dan tafsir Alquran secara kontekstual.

Baca Juga

Organisasi ini pun bergerak di bidang sosial, seperti membangun sekolah dan rumah sakit di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Hamas membantu orang-orang yang rumahnya dirobohkan atau perempuan yang suaminya dibunuh Israel untuk bisa melanjutkan hidup. 

Sara Roy dari Universitas Harvard mencatat bahwa Hamas menjalankan jaringan pelayanan sosial terbaik di Jalur Gaza, terstruktur dan terorganisasi dengan baik. Hamas dipercaya menyalurkan bantuan dan dianggap jauh dari korupsi ketimbang patronase yang ditunjukkan partner nasionalis sekulernya.

Lembaga PBB UNRWA menegaskan bahwa Hamas adalah satu-satunya faksi yang mereka percayai untuk mendistribusikan bantuan perang kepada masyarakat. Aktivitas-aktivitas semacam itu, disamping militansi dan reputasi mereka yang bersih dari korupsi, telah membuat Hamas menjadi oposisi politik utama terhadap otoritas Palestina. 

Hamas bukanlah organisasi orang-orang brutal. Mereka rata-rata adalah orang yang berpendidikan dan berbasis kampus. Abdul Aziz Al Rantisi misalnya, pengganti Yassin di jalur Gaza itu berpendidikan Pascasarjana kedokteran dari Mesir. Khaled Meshaal, pemimpin Hamas di luar negeri, adalah seorang sarjana Psikologi. Para pendiri Hamas sebagian besar adalah orang-orang profesional seperti para dokter, ahli farmasi, dan guru. 

Dalam buku Between Jihad and Salaam: Profiles in Islam, Ibrahim Ghosheh, salah seorang petinggi Hamas yang bermukim di Amman, Yordania, mengungkapkan kepada Joyce M. Davis bahwa Hamas adalah organisasi yang dibangun dari keimanan dan prinsip. Jika para pemuda disiapkan berdasarkan landasan ini, mereka sangat kuat dan sangat berani.  Keimanan mereka terhadap ajaran Islam telah mengantarkan mereka kepada kesimpulan bahwa hanya sebuah gerakan baru yang berdasarkan prinsip-prinsip dasar Islam lah yang akan mampu membebaskan Palestina. 

Hamas seperti halnya Hizbullah, mengembangkan struktur organisasi dan kepemimpinan desentralisasi. Jadi agak mengherankan kalau orang menyangka Hamas akan bergantung pada satu figur pemimpin. Kepemimpinan desentralisasi ini kemudian terbukti merupakan suatu keniscayaan karena seringnya penangkapan dan pemenjaraan terhadap pemimpin perjuangan Palestina. 

Sejatinya Hamas merupakan gerakan pemikiran dan sosial. Gerakan semacam ini tidak mudah bubar begitu saja jika pemimpinnya tiada. Bahkan selama ini terbukti, justru dengan kematian pemimpinnya, Hamas semakin populer. Tidak semata-mata mengandalkan anggotanya, Hamas pun lebih ditopang oleh kekuatan rakyat yang mendukungnya baik di Palestina maupun di luar negeri. Hamas merupakan gerakan yang telah mengakar di Palestina dan terpatri dalam kesadaran rakyat Palestina. 

Mantan Kepala Shin Bet (Dinas Intelijen dalam negeri Israel) Ami Ayalon menegaskan bahwa Israel tidak mungkin memenangi perang melawan Hamas dengan cara militer. Hal itu dikatakannya karena Hamas pada dasarnya bukan organisasi, melainkan gerakan ideologi yang menjadi tumpuan harapan rakyat Palestina yang telah mengalami kekecewaan atas proses perdamaian selama ini. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement