Selasa 21 Nov 2023 18:41 WIB

Anak-Anak Gaza Trauma dan Stres Akibat Perang

Anak-anak menderita gejala psikologis dan fisik yang menyedihkan akibat perang.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Esthi Maharani
Seorang anak laki-laki yang terluka diangkut setelah serangan Israel di Deir Al-Balah, Jalur Gaza selatan, Palestina, Kamis (9/11/2023).
Foto:

REPUBLIKA.CO.ID, DEIR EL-BALAH --  Di halaman Rumah Sakit Syuhada Al Aqsa di Jalur Gaza tengah, seorang psikolog, Mohamed Abushawish telah membuat ruang untuk memberikan bantuan psikologis dini kepada anak-anak yang mencari perlindungan di sana. Di tengah pengeboman Israel yang tiada henti di Gaza, Abushawish menyediakan aktivitas untuk anak-anak di lorong rumah sakit dan ruang terbuka.

Sejak hari-hari pertama perang, sekitar 300 keluarga mencari perlindungan di rumah sakit. Jumlahnya terus meningkat menyusul perintah dari Pemerintah Israel agar penduduk Kota Gaza di utara untuk pindah ke sisi selatan Jalur Gaza.

Baca Juga

Dengan rasa takut dan ragu-ragu, anak-anak yang berlindung di RS Syuhada Al Aqsa bergabung dalam sebuah lingkaran aktif yang diorganisasi oleh Abushawish, yang dengan lembut mengundang mereka untuk masuk. Di antara anak-anak itu adalah Hamsa Irshi yang berusia 10 tahun. Dengan senyum cerah, Hamsa bertepuk tangan bersama anak-anak lain di dalam lingkaran. Hamsa menceritakan kepada Aljazirah tentang kisah kepergian keluarganya dari rumah mereka di lingkungan Al Daraj di timur Kota Gaza.

“Jumat lalu, ibu dan tiga saudara saya menemani saya ke rumah paman saya di Deir El Balah. Namun, pada malam yang sama, serangan udara Israel menargetkan rumah paman saya, menewaskan seluruh keluarga mereka," ujar Hamsa.

Sejenak Hamsa menahan tangisnya, lalu melanjutkan kisahnya.

“Kami berada di ruangan yang agak jauh dari serangan langsung. Ibu saya menderita luka ringan, dan mereka berhasil menyelamatkan kami dari bawah reruntuhan,” ujar Hamsa.

Dari orang-orang yang berada di rumah pamannya malam itu, hanya ibunya, tiga saudara laki-lakinya, dan dua sepupunya yang selamat dari pengeboman Israel. Ketiga pamannya dan keluarga mereka dibunuh. Sementara ayah Hamsa dan saudara-saudaranya yang lain masih berada di Kota Gaza.

Meski terkejut, Hamsa aktif mengikuti kegiatan dukungan mental dan menceritakan ketakutannya terhadap perang. Hamsa mengatakan, dia sangat ingin pengeboman ini segera berakhir.

“Saya tidak merasa aman," ujar Hamsa.

Sementara itu, Malak Khatab (12 tahun) yang biasa tinggal di kamp Deir el-Balah, mengungkapkan kegembiraannya setelah mengikuti kegiatan yang diorganisir oleh Abushawish. Dia mengatakan, anak-anak mendambakan lebih banyak kegiatan seperti itu untuk membantu meningkatkan semangat mereka.

Malak menceritakan malam yang mengerikan seminggu yang lalu ketika dia dan keluarganya ketakutan dengan pengeboman di rumah tetangganya. Dia menggambarkan bagaimana mereka tiba-tiba terbangun karena puing-puing yang berjatuhan, diikuti oleh ledakan besar. Malak mendapati dirinya terjebak di bawah reruntuhan, ayahnya dengan panik berusaha menjaganya tetap aman. Tim pertahanan sipil kemudian menyelamatkan mereka.

Rumah keluarga Malak mengalami kerusakan parah akibat pemboman tersebut, begitu pula rumah-rumah lain di dekatnya. Akibatnya, mereka terpaksa mencari perlindungan di rumah sakit. Mereka terpaksa tidur beralaskan di tanah, karena tidak ada lagi tempat tidur.

Di dekat halaman rumah sakit, Anas al-Mansi yang berusia 12 tahun terbaring di kasur di tanah. Dia tampak tidak tertarik dengan aktivitas anak-anak yang terjadi di sekitarnya. Anas akhirnya setuju untuk berbicara dengan Aljazirah setelah melakukan percakapan persuasif dengan pamannya.

“Saya tidak mempunyai keinginan untuk melakukan apa pun," ujar Anas.

Anas kemudian menceritakan bahwa dia kehilangan ayah dan bibinya akibat serangan udara di rumah mereka di Deir el-Balah seminggu lalu. Dia menggambarkan, suatu malam ketika mereka tertidur lelap, tiba-tiba sebuah ledakan besar menghancurkan rumahnya. Anas tidak dapat mengingat detail spesifiknya, kecuali kata-kata terakhir ayahnya, yang memerintahkan mereka untuk mengucapkan kalimat syahadat.

“Suara ayah saya perlahan menghilang, dan saya mendapati diri saya terkubur di bawah puing-puing dan debu. Saya telepon ayah saya, tapi dia tidak menjawab. Saya tahu dia mungkin dibunuh," ujar Anas.

Saat dia berbicara, Anas memperlihatkan punggungnya yang banyak memar dan luka. Keluarga Anas terjebak di bawah reruntuhan selama beberapa waktu sebelum diselamatkan.

“Adikku juga menderita luka punggung yang parah, membuatnya tidak bisa berjalan, dan ibuku masih di rumah sakit setelah kakinya terluka," kata Anas.

Anas berharap perang segera berakhir, namun dia tidak punya keinginan untuk kembali ke kehidupan normal. “Tidak ada kehidupan,” katanya tegas.

Anak-anak menderita gejala psikologis dan fisik yang menyedihkan akibat trauma...

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement