REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Jemaat Katolik di Gaza yang berada di Gereja Katolik Paroki Latin Keluarga Kudus mengalami kekhawatiran akan terbakar dan hancur dalam serangan tentara Israel. Sebab tempat ibadah mereka, yang kini jadi penampungan bagi lebih dari 700 umat Katolik Gaza itu telah dikepung kebakaran dan kehancuran bangunan.
Serangan Israel di sekitar kompleks gereja Parrocchia Sacra Famiglia itu membuat warga Katolik yang juga mengungsi di gereja itu terperangkap di antara dua kebakaran dan kehancuran bangunan. Umat Kristen setempat mengubah paroki menjadi garnisun doa yang terus menerus, seperti yang dikatakan Suster Nabila Saleh kepada media Italia SIR.
"Satu-satunya senjata yang kami miliki untuk melindungi diri kami sendiri adalah doa, yang memberikan kami 'cahaya' untuk menghadapi masa depan dengan penuh percaya diri," kata Suster Nabila.
Meski demikian, setiap pagi, kasur, bantal, dan selimut tertata rapi di sepanjang dinding gereja kecil, yang menampilkan lukisan besar Keluarga Kudus di dalam apse. Lebih dari 700 orang Kristen yang mengungsi berlindung di kompleks paroki dan kehidupan sehari-hari tidaklah mudah.
Sejak 7 Oktober, ketika "perang yang mengerikan ini meletus", Suster Nabila Saleh mengatakan kepada SIR, "hampir semua umat Kristiani di Gaza, sekitar 1.000 orang, mengalami ketakutan dan kehancuran serta kerusakan bagi rumah-rumah mereka. Dan saat ini itu telah terjadi, gereja ini adalah satu-satunya tempat di mana mereka dapat hidup aman dan bermartabat dengan sementara.
Banyak umat Katolik memilih untuk tidur di dalam gereja karena, seperti yang dijelaskan oleh seorang biarawati dari Kongregasi Suster-suster Rosario Yerusalem, mereka takut untuk bermalam di gedung-gedung paroki, yang terletak di sebelah jalan dan karena telah jadi target bom Israel.
"Jika kami akan mati, kami lebih memilih untuk mati sedekat mungkin dengan Yesus, dekat dengan altar. Kami tidak akan meninggalkan tempat ini, ini adalah rumah kami dan kami tidak akan meninggalkannya," kata Suster Nabila Saleh
Berpindah-pindah dan meloncat dari kasur ke bangku gereja hampir menjadi permainan bagi banyak anak-anak yang memadati paroki. Banyak yang tetap mengenakan piyama untuk menghadiri Misa, lalu sarapan dan berlari untuk bermain di halaman, jika situasi keamanan memungkinkan, atau di aula dalam ruangan.
"Kami mencoba untuk menghidupkan hari mereka," kata Bunda Maria del Pilar, seorang misionaris dari Institut Sabda yang Menjelma (IVE) di Gaza, "untuk memberi mereka sekilas hidup normal dan mungkin membawa senyum di wajah mereka.
Sementara itu, menurut George Anton, Direktur Administrasi Caritas Yerusalem di Gaza, "hampir tidak ada orang yang keluar dari kompleks gereja paroki ini karena sangat berbahaya. "Kami hanya keluar untuk kebutuhan mendesak, seperti kunjungan medis khusus atau mencari makanan, obat-obatan, dan air yang benar-benar kami butuhkan," ujarnya.
"Kami tetap tinggal, kami tidak pergi dan kami tidak berniat untuk pergi, meskipun kami kekurangan segalanya, meskipun kami mengalami malam-malam yang mengerikan dan tidak bisa tidur, meskipun kami mengalami hari-hari yang mengerikan. Bahkan, dengan mengorbankan nyawa kami sendiri."
Seorang wanita tua beragama Katolik, Elham Farah, dibunuh beberapa hari yang lalu, tak lama setelah meninggalkan komunitas tersebut. "Dia adalah seorang pensiunan guru musik berusia 84 tahun," kata sumber-sumber lokal kepada SIR, mengutip kerabat wanita tersebut. "Dia ditembak di kaki oleh penembak jitu Israel dan akhirnya dilindas tank Israel.
Tubuhnya tidak dapat dipulihkan selama beberapa hari. Akhirnya dibawa ke Rumah Sakit al-Shifa dan dikuburkan bersama mayat-mayat lainnya. Kami tidak dapat membawanya kembali ke paroki untuk memberikan permakaman yang layak. Satu-satunya kejahatan yang dilakukannya adalah kembali ke rumahnya yang hancur untuk mengambil beberapa barang berharga miliknya. Semua jalan di Gaza penuh dengan mayat."