Ahad 26 Nov 2023 09:38 WIB

Polisi Israel Larang Keluarga Palestina Rayakan Pembebasan Tahanan

Keluarga para tahanan akan ditangkap jika mereka menunjukkan bentuk perayaan

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Esthi Maharani
Mantan tahanan wanita Palestina Hanna Barghouti, yang dibebaskan oleh otoritas Israel, mengenakan ikat kepala Hamas saat dia diterima oleh para pendukungnya setibanya di kota Beitunia, Tepi Barat, Jumat (24/11/2023). Israel dan Hamas sepakat untuk melakukan pembebasan sandera sebagai bagian dari perjanjian gencatan senjata selama empat hari. Sebanyak 50 sandera Israel dibebaskan oleh Hamas dan 150 wanita Palestina serta anak-anak yang ditahan di penjara Israel dibebaskan oleh Israel.
Foto:

REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Polisi Israel melarang keluarga Palestina melakukan selebrasi atau perayaan dalam menyambut kepulangan kerabat mereka yang dibebaskan dari penjara. Pada Rabu (22/11/2023) malam, polisi Israel memotret rumah para tahanan yang dijadwalkan akan dibebaskan di Yerusalem.

Polisi mengancam bahwa keluarga para tahanan akan ditangkap jika mereka menunjukkan bentuk perayaan pembebasan kerabat mereka. Pembatasan seperti ini bukanlah hal baru di Yerusalem.

Baca Juga

Dalam beberapa tahun terakhir, Israel telah melarang perayaan apa pun ketika keluarga menerima putra dan putri mereka yang dibebaskan.  Dalam beberapa kasus, narapidana yang baru dibebaskan ditangkap kembali setelah keluarga mereka merayakan pembebasan.

Sementara dalam kasus lain, para tahanan yang dibebaskan dideportasi dari Yerusalem. Ketua Komite Keluarga Tahanan Yerusalem, Amjad Abu Asab mengatakan, melarang perayaan kebebasan anak-anak mereka, setelah menunggu pembebasan yang cukup lama, adalah bagian dari tekanan terus-menerus yang ingin diterapkan oleh Israel.

Israel juga menerapkan tindakan keras yang berlebihan terhadap anak-anak yang ditangkap di Yerusalem, seperti hukuman berat, denda berat, dan tahanan rumah. Abu Asab mengatakan, Israel tidak hanya memberlakukan pembatasan fisik, namun juga bentuk tekanan psikologis yang berlangsung selama berbulan-bulan. Menurut Abu Asab, pemukulan merupakan ciri khas penangkapan anak-anak di Yerusalem dengan tujuan intimidasi.

“Sejak para pemukim membakar dan membunuh anak Muhammad Abu Khudair di Yerusalem pada 2014, Israel semakin menargetkan anak-anak di kota tersebut untuk mencegah mereka melakukan balas dendam. Israel juga mengembangkan undang-undang untuk melipatgandakan hukuman mereka dengan dalih pencegahan,” ujar Abu Asab, dilaporkan Middle East Eye.

Penggunaan kekuatan berlebihan dalam menangani anak-anak di Yerusalem adalah kebijakan sistematis yang diterapkan oleh polisi Israel dengan tujuan untuk menundukkan mereka. Abu Asab menggambarkan kondisi penangkapan dan interogasi mereka lebih brutal dibandingkan tahanan lainnya.

Penolakan pengobatan, pemukulan yang menyebabkan patah tulang dan memar, ancaman terus-menerus, perampasan pendidikan, penundaan di pengadilan, dan kondisi pembebasan yang rumit bahkan setelah mereka dibebaskan, merupakan prosedur yang bertentangan dengan hukum internasional. Padahal 30 tahun lalu, Israel telah menandatangani Konvensi Perlindungan Anak.

Tahanan Palestina yang dibebaskan pada Jumat termasuk 24 wanita, beberapa di antaranya telah dijatuhi hukuman penjara bertahun-tahun karena percobaan penikaman dan serangan lain terhadap pasukan keamanan Israel. Sementara yang lainnya dituduh melakukan penghasutan di media sosial.

Selain itu, terdapat juga 15 anak laki-laki, sebagian besar dari mereka didakwa melakukan pelemparan batu dan “mendukung terorisme". Tuduhan ini menggarisbawahi tindakan keras Israel terhadap pemuda Palestina ketika kekerasan meningkat di wilayah pendudukan.

Pembebasan tahanan ini menimbulkan perasaan senang dan sedih yang bercampur aduk....

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement