REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Hamas sedang berupaya memperpanjang gencatan senjata dengan Israel. Gencatan senjata selama empat hari yang disepakati kedua belah pihak pekan lalu akan berakhir masa berlakunya pada Senin (27/11/2023).
Jerusalem Post melaporkan, Qatar, selaku mediator antara Hamas dan Israel, sudah mengutus delegasi intelijen ke Israel pada Sabtu (25/11/2023). Mereka ditugaskan untuk membahas kemungkinan perpanjangan gencatan senjata. Perdana Menteri Qatar Sheikh Mohammed bin Abdulrahman al-Thani mengungkapkan, terdapat tantangan yang mesti diatasi Hamas jika gencatan senjata dengan Israel ingin diperpanjang. Tantangan tersebut adalah tentang keberadaan sejumlah sandera.
Menurut Sheikh Mohammed, terdapat 40 perempuan dan anak-anak Israel yang saat ini disandera di Gaza, tapi tidak berada di bawah naungan Hamas. Dia mengatakan, Hamas, selaku pihak yang mengontrol Gaza, harus melacak keberadaan mereka.
Sheikh Mohammed mengindikasikan bahwa tidak ada syarat lain yang membuat Israel bersedia memperpanjang gencatan senjata, kecuali kondisi seluruh warganya dipastikan aman. “Dari sudut pandang kami, kami ingin melihat perang ini berhenti untuk mencari solusi guna mengatasi kekhawatiran yang dimiliki Israel. Namun, hingga saat ini, satu-satunya kesediaan untuk bernegosiasi mengenai jeda atau gencatan senjata adalah terkait dengan para sandera,” kata Sheikh Mohammed kepada Financial Times pada Ahad (26/11/2023) lalu.
Sheikh Mohammed mengungkapkan, saat negaranya memediasi pembicaraan gencatan senjata Hamas-Israel, Hamas mengakui adanya kelompok perlawanan Palestina lain di Gaza yang turut melakukan penculikan terhadap warga Israel ketika mereka melancarkan operasi infiltrasi pada 7 Oktober 2023.
Sekelompok penduduk Gaza yang melintasi perbatasan ke Israel diduga ikut menangkap dan menawan warga Israel. Menurut Israel, lebih dari 240 orang diculik ketika Hamas melakukan operasi infiltrasi awal bulan lalu. Mereka yang diculik terdiri dari warga Israel, warga Israel berkewarganegaraan ganda, dan warga asing.
Sheikh Mohammad mengungkapkan, belum diketahui berapa banyak sandera yang bisa ditemukan Hamas dalam beberapa hari mendatang. Dia mengatakan, pencarian warga Israel yang masih belum jelas keberadaannya di Gaza termasuk salah satu tujuan gencatan senjata empat hari yang dimulai sejak Jumat (24/11/2023).
Kelompok Jihad Islam yang juga berbasis di Gaza mengakui bahwa mereka menyandera lebih dari 30 orang. Dalam sebuah pernyataan yang dirilis oleh Hizbullah atas nama mereka, Jihad Islam mengatakan tidak akan membebaskan para sandera sebelum Israel melepaskan seluruh tahanan Palestina dari penjaranya.
Sementara itu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengunjungi Gaza pada Ahad kemarin. Pada kesempatan itu, dia menyampaikan menyambut perpanjangan masa gencatan senjata. Syaratnya, Hamas membebaskan 10 sandera tambahan setiap harinya.
Dalam perbicangan via telepon dengan Presiden AS Joe Biden akhir pekan lalu, Netanyahu mengatakan siap melanjutkan pertempuran di Gaza ketika gencatan senjata berakhir.
“Pada akhir perjanjian, kami mengembalikan kekuatan penuh untuk melaksanakan tujuan kami: menghancurkan Hamas, memastikan bahwa Gaza tidak akan kembali seperti dulu, dan tentu saja membebaskan semua sandera kami,” kata Netanyahu.
Dalam kesepakatan gencatan senjata kemanusiaan selama empat hari yang disepakati pekan lalu, Hamas setuju membebaskan 50 sandera Israel. Sebagai gantinya, Israel harus membebaskan 150 warga Palestina, terdiri dari perempuan dan anak-anak, dari penjara mereka.
Sejak Jumat pekan lalu, Hamas telah membebaskan 63 sandera, di dalamnya termasuk 17 warga Thailand dan seorang warga Filipina. Sementara Israel sudah membebaskan 117 tahanan Palestina.
Sementara itu, sejauh ini jumlah warga Gaza yang terbunuh akibat agresi Israel yang dimulai sejak 7 Oktober 2023 telah melampaui 14.500 jiwa. Mereka termasuk 6.000 anak-anak dan 4.000 perempuan. Sementara korban luka mencapai sekitar 33 ribu orang.