REPUBLIKA.CO.ID, WELLINGTON -- Perdana Menteri baru Selandia Baru Christopher Luxon berencana untuk melarang penggunaan ponsel di sekolah dan mencabut pengaturan tembakau. Agenda ambisius ini dia rilis untuk 100 hari pertama menjalankan masa jabatan, Rabu (29/11/2023).
Luxon menguraikan 49 tindakan yang akan dijalankan oleh pemerintah konservatif dalam tiga bulan ke depan. Luxon mengatakan, banyak langkah yang ditujukan untuk meningkatkan ekonomi.
Namun banyak rencana terbukti kontroversial, termasuk yang mencabut pembatasan tembakau yang disetujui tahun lalu oleh pemerintah sebelumnya. Tindakan ini termasuk persyaratan untuk kadar nikotin rendah dalam rokok, lebih sedikit pengecer dan larangan seumur hidup bagi kaum muda.
Pemerintah Luxon telah mengatakan, bahwa mengakhiri pembatasan tembakau akan membawa lebih banyak pemasukan pajak. Meskipun Luxon mengatakan, itu bukan kasus perdagangan kesehatan untuk mendapatkan uang. Para kritikus mengatakan rencana itu adalah kemunduran untuk kesehatan masyarakat dan kemenangan bagi industri tembakau.
"Kami tetap dengan status quo. Kami akan terus menurunkan tingkat merokok di seluruh Selandia Baru di bawah pemerintahan kami," kata Luxon.
Sedangkan dua inisiatif pendidikan, yaitu satu yang mengharuskan sekolah untuk mengajar satu jam membaca, menulis, dan matematika setiap hari, dan pelarangan penggunaan ponsel mencerminkan sentimen di antara beberapa pemilih. Tindakan ini menilai sekolah telah menyimpang dari misi utama mereka.
Selain itu, aturan baru yang direncanakan itu juga akan mempersempit mandat bank sentral untuk fokus murni pada menjaga inflasi. Keputusan itu akan mengubah fokus ganda Bank Cadangan saat ini pada inflasi rendah dan pekerjaan yang tinggi.
Banyak tindakan dalam rencana 100 hari melibatkan pencabutan inisiatif dari pemerintah liberal sebelumnya, yang telah menjabat selama enam tahun. Upaya baru ini mencakup rencana untuk menggandakan produksi energi terbarukan.
Rencana lain di sekitar etnis, seperti membubarkan Otoritas Kesehatan Maori telah digambarkan oleh pemerintah Luxon sebagai langkah-langkah untuk memperlakukan semua warga negara secara setara. Namun, tindakan ini telah diserang oleh para kritikus sebagai rasis terhadap masyarakat adat.