Kamis 30 Nov 2023 02:45 WIB

Perang Membuat Petani Zaitun Palestina Merugi

Para petani zaitun Plaestina tidak berani pergi ke kebun karena takut terbunuh.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nidia Zuraya
Petani Palestina berjalan di samping pembatas pemisah Israel setelah tentara Israel mengizinkan mereka menyeberang dari desa Beit Awwa Tepi Barat untuk memanen zaitun di tanah mereka dekat komunitas Israel Shekef, Rabu, 26 Oktober 2022. Tentara Israel untuk sementara waktu membuka gerbang keamanan yang memisahkan beberapa petani Palestina di Tepi Barat dari kebun zaitun mereka di sisi pembatas pemisah Israel.
Foto: AP/Oded Balilty
Petani Palestina berjalan di samping pembatas pemisah Israel setelah tentara Israel mengizinkan mereka menyeberang dari desa Beit Awwa Tepi Barat untuk memanen zaitun di tanah mereka dekat komunitas Israel Shekef, Rabu, 26 Oktober 2022. Tentara Israel untuk sementara waktu membuka gerbang keamanan yang memisahkan beberapa petani Palestina di Tepi Barat dari kebun zaitun mereka di sisi pembatas pemisah Israel.

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Para petani di Gaza memanfaatkan  gencatan senjata antara Israel dan Hamas untuk memanen buah zaitun yang tersisa. Panen kali ini terpaksa tertunda karena pengeboman Israel membuat para petani zaitun tidak berani pergi ke kebun mereka karena takut terbunuh.

Pada tahun normal, panen akan dimulai beberapa minggu lebih awal. Namun sebelum gencatan senjata, para petani takut disangka sebagai pejuang Hamas dan menjadi sasaran pasukan Israel jika mereka pergi ke kebun zaitun. 

Baca Juga

Beberapa lahan juga rusak akibat pertempuran atau lewatnya kendaraan militer, sementara beberapa petani terpaksa mengungsi dari rumah mereka dan tidak dapat kembali ke kebun mereka.

“Perang ini menghancurkan kami. Hampir tidak ada produksi. Sebagian besar hasil panen terbuang sia-sia,” kata Fathy Abu Salah, yang sedang memetik buah zaitun bersama tim kecilnya.

Abu Salah mengatakan, biasanya mereka akan memanen buah zaitun sebanyak 12 kontainer, namun tahun ini mereka hanya panen sebanyak satu kontainer.  Abu Salah menjelaskan, selain perang, kurangnya bahan bakar untuk mengangkut buah zaitun juga menjadi kendala.

“Kami mencoba melakukan ini dengan semua sumber daya yang kami miliki dalam enam hari (gencatan senjata) ini. Hanya buah ini yang kami miliki. Inilah cara kami mencari nafkah dari tahun ke tahun," ujar Abu Salah.

Di tempat pemerasan buah zaitun Wafy, di Khan Younis, mesin tersebut terlambat beroperasi selama beberapa minggu.  Karung-karung buah zaitun dibawa dengan menggunakan gerobak yang ditarik oleh keledai.

Buah zaitun mengalir melalui saluran yang bergetar dari sisi ke sisi sebelum jatuh ke mesin pemerasan. Minyak kental berwarna emas dituangkan ke dalam tong logam, sementara para lelaki menunggu untuk mengambilnya dalam jerigen kuning.

“Saat gencatan senjata dimulai, kami berpikir apakah kami akan bekerja atau tidak. Namun kemudian muncul masalah alat pemeras zaitun yang membutuhkan listrik, dan tidak ada listrik, artinya kami harus mencari bahan bakar, dan mencari bahan bakar adalah hal yang sulit.  krisis yang dihadapi semua orang,” kata manajer pemerasan buah zaitun, Mohamed Wafy.

“Ada beberapa orang yang mampu mengirimkan buah zaitunnya kepada kami dan harus membeli bahan bakar di pasar gelap dengan harga yang jauh lebih tinggi. Segera setelah kami mendapatkan akses terhadap bahan bakar, kami dapat membuka mesin pemeras zaitun, meskipun alat tersebut bekerja pada harga yang sama dengan kapasitas minimum," ujar Wafy.

Wafy mengatakan, hampir semua buah zaitunnya jatuh ke tanah sebelum dia mengakses ke kebunnya.  Dia mengatakan, beberapa petani tidak menemukan apa pun, sementara yang lain hanya memanen sedikit zaitun dari panen biasanya.

Pada Senin (27/11/2023) malam, Qatar mengumumkan perjanjian untuk memperpanjang jeda kemanusiaan yang sebelumnya ditetapkan selama empat hari. Israel dan Hamas kemudian sepakat memperpanjang gencatan senjata selama dua hari lagi sehingga pertukaran tahanan lebih lanjut akan dilakukan.

Israel melancarkan kampanye militer besar-besaran di Jalur Gaza menyusul serangan lintas batas yang dilakukan Hamas pada 7 Oktober. Sejak itu, serangan tersebut telah menewaskan lebih dari 15.000 orang, termasuk 6.150 anak-anak dan 4.000 perempuan. 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement