REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Kepala Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperingatkan jumlah orang yang meninggal di Jalur Gaza karena penyakit akan lebih banyak dibandingkan karena pengeboman. Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan ada peningkatan risiko wabah penyakit karena tempat penampungan yang penuh sesak dan kurangnya makanan, air, sanitasi dan obat-obatan.
Ia mengatakan 111 ribu orang menderita infeksi saluran pernapasan dan 75 ribu lainnya menderita diare, lebih dari separuhnya berusia di bawah lima tahun.
"Mengingat kondisi kehidupan dan kurangnya perawatan kesehatan, lebih banyak orang yang dapat meninggal karena penyakit daripada pengeboman," katanya, Rabu (29/11/2023)
Ia menyerukan gencatan senjata yang berkelanjutan. "Ini adalah masalah hidup atau mati bagi warga sipil."
PBB mengatakan mengatakan serangan Israel ke Gaza membuat 1,8 juta orang atau sekitar 80 persen dari populasi Gaza mengungsi. Sementara itu warga Palestina di Gaza khawatir perang Israel-Hamas, yang menyebabkan kematian, kehancuran, dan pengungsian yang belum pernah terjadi sebelumnya tersebut akan kembali pecah.
"Kami sudah muak," kata Omar al-Darawi, yang bekerja di rumah sakit Al-Aqsa Martyrs yang penuh sesak di pusat kota Deir al-Balah.
"Kami ingin perang ini berhenti," katanya.
Seorang ayah dari tiga anak yang tinggal bersama keluarga lain di selatan Gaza, Ihab Abu Auf mengatakan dua kali ia mencoba dua kali kembali ke rumahnya di utara, namun ditolak pasukan Israel.
Kedua orang tersebut berbicara ketika mediator internasional bekerja untuk memperpanjang gencatan senjata yang telah menghentikan pertempuran selama hampir satu minggu. Keduanya mengatakan akan menjadi bencana besar jika Israel melanjutkan serangannya dan mengirim pasukan ke selatan, di mana ratusan ribu warga Palestina telah mencari perlindungan.
"Ke mana kami akan pergi dengan perempuan dan anak-anak kami?" Kata Abu Auf.
"Mereka menginginkan Nakba yang lain," tambahnya.
Ia mengacu peristiwa yang memaksa ratusan ribu orang Palestina melarikan diri atau diusir dari wilayah yang sekarang disebut Israel selama perang tahun 1948 yang melatarbelakangi berdirinya negara tersebut. Mesir menolak menerima pengungsi Palestina dan Israel menutup perbatasannya sejak perang mulai pecah.