Kamis 30 Nov 2023 09:26 WIB

Masyarakat Badui Sinai Khawatir Perpindahan Massal Warga Palestina

Israel terus melobi Mesir agar mengizinkan warga Gaza eksodus ke Sinai.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Nidia Zuraya
Warga Palestina mengungsi ke Jalur Gaza selatan di Jalan Salah al-Din di Bureij, Jalur Gaza, pada Rabu, (8/11/2023).
Foto: AP Photo/Hatem Moussa
Warga Palestina mengungsi ke Jalur Gaza selatan di Jalan Salah al-Din di Bureij, Jalur Gaza, pada Rabu, (8/11/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, SINAI -- Ketika perang Israel di Gaza mendekati akhir bulan kedua, Rehab Eldalil khawatir tentang laporan upaya Israel untuk mendorong 2,3 juta orang di Jalur Gaza ke Semenanjung Sinai Mesir. Area itu merupakan rumah leluhurnya.

Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi secara terbuka menyatakan bahwa pemerintahannya tidak akan mengizinkan perpindahan warga Palestina. Dia menyatakan, tindakan itu berarti akhir perjuangan Palestina dan potensi ancaman terhadap keamanan nasional Mesir.

Baca Juga

Namun, laporan berita menunjukkan bahwa Israel mungkin menawarkan untuk membayar sebagian besar utang publik Mesir sebagai imbalan atas izin pemindahan paksa orang-orang dari Gaza ke Sinai. Namun, Eldalil khawatir bahwa narasi semacam itu menghilangkan hak warga Palestina untuk tetap tinggal di tanah.

"Sekaligus mempromosikan bahwa Sinai adalah gurun kosong yang bisa disinggahi warga Palestina," ujar seorang fotografer Mesir dan pendongeng keturunan Badui.

Padahal anggapan tersebut tidak benar. Segitiga tanah seluas 61.000 km persegi yang menjembatani Afrika dan Asia adalah tujuan wisata populer, situs keagamaan, sejarah yang penting, dan pusat ekonomi penting bagi Mesir. 

Area itu juga rumah bagi beberapa ladang minyak dan gas alam, serta Terusan Suez, salah satu rute pelayaran tersibuk di dunia dan menghasilkan hingga sembilan miliar dolar AS setiap tahunnya.

Semenanjung yang dua pertiga bagian utaranya ditempati oleh Gurun Sinai dan bagian selatan pegunungan yang memiliki St Catherine telah lama menjadi rumah bagi banyak sekali suku Badui. Mereka hidup sesuai dengan tradisi selama berabad-abad, beberapa akhirnya menetap di kota-kota.

Komunitas-komunitas ini seringkali diabaikan oleh pihak berwenang, dan menjadi korban tambahan dalam konflik geopolitik nasional atau regional. Kini, perang di Gaza menimbulkan ketakutan baru bagi masyarakat Badui.

Sebelum kekuatan kolonial membuat perbatasan untuk membentuk negara-negara di wilayah tersebut saat ini, Semenanjung Arab, Levant, dan Afrika Utara dihubungkan oleh jalur pedagang yang menawarkan bahasa yang sama di wilayah tersebut. Vektor dari fenomena ini adalah suku Arab Badui.

“Komunitas-komunitas ini … mereka tidak lagi menjadi pengembara, mereka menetap sebagai penduduk asli pertama di gurun ini lebih dari 1.000 tahun yang lalu,” sesuatu yang ia dengar dari para tetua sukunya, Jabaliya (orang-orang dari pegunungan)," kata Eldalil dikutip dari Aljazirah.

Eldalil menjelaskan, pada awalnya, mereka membagi semenanjung menjadi tujuh suku besar. Kini telah berkembang menjadi total 33 suku. Dia mengatakan, warisan suku asli tersebut masih hidup.

“Sulaman adalah tradisi besar yang masih dipraktikkan masyarakat, begitu pula puisi tradisional Badui, tempat mereka menceritakan kisah mereka,” kata Eldalil.

Selain itu, ada pula hukum Badui. “Jika ada masalah… mereka akan melakukan pertemuan antar keluarga yang berselisih dan memperbaikinya dengan cara yang lebih beradab seperti yang biasa Anda lihat di banyak negara progresif,” kata Eldalil.

Eldalil mengatakan, mereka mempunyai peraturan dan hukum yang tidak terucapkan, sesuatu yang seiring berjalannya waktu telah menimbulkan banyak masalah antara suku badui dan pemerintah. Kondisi ini memang sering terjadi pada komunitas adat lainnya di dunia.

Hubungan mendalam suku Badui dengan wilayah tersebut telah menambah ketegangan dengan pihak berwenang. “Mereka mampu berjalan berhari-hari dan berminggu-minggu di gurun pasir, mereka mengetahui setiap inci pasir dan sudut pegunungan. Mereka sangat mengenal tanah mereka sehingga hal ini menjadi intimidasi, dan timbul kebutuhan untuk mengatur mereka," ujar Eldalil.

Peneliti bidang antropologi dan pembangunan University of Nottingham Hilary Gilbert menyatakan, banyak dari suku Badui ini menolak meninggalkan tanahnya ketika Israel menginvasi Semenanjung Sinai pada 1967. Pendudukan berlangsung selama 15 tahun, menyebabkan banyak kecurigaan yang ditujukan terhadap mereka yang non-Sinai.

“Ketika Israel keluar dan Mesir kembali mengambil alih pemerintahan, mereka mengadopsi semacam kebijakan yang mengabaikan masyarakat Badui," ujar Gilbert.

Selama Arab Spring pada 2011, penyeberangan Rafah antara Mesir dan Gaza menjadi jalur bagi para pejuang bersenjata dan transit senjata. Kondisi ini membuat suku Badui Sinai semakin diawasi oleh negara Mesir. Pada waktu yang hampir bersamaan, bangkitnya kelompok bersenjata seperti Ansar Bayt al-Maqdis yang berafiliasi dengan ISIS memperdalam kekhawatiran pemerintah Mesir terhadap keamanan di Sinai.

Pemerintah Mesir kini telah mengubah pendekatannya terhadap suku Badui sejak 2018 dengan bersekutu dengan berbagai suku untuk berkolaborasi dalam bidang intelijen dan keamanan di Sinai. Hal ini juga dirasakan oleh warga Palestina yang sudah tinggal di Sinai.

Mohammed adalah salah satu dari ribuan warga Palestina yang lahir dan besar di Sinai setelah pengusiran massal warga Palestina selama pembentukan Israel pada 1948. “Warga Palestina di Sinai Utara berjumlah lebih dari sepertiga populasi, dan meskipun sebagian dari kami masih tidak bisa mendapatkan kewarganegaraan Mesir karena undang-undang yang ketat, kami diperlakukan sebagai warga Mesir,” kata Mohammed.

“Kami dan orang Badui adalah orang yang sama, memiliki darah yang sama," ujarnya.

Masyarakat Badui di Sinai, menurut Mohammed, telah membantu warga Palestina yang terjebak di gurun pasir ketika perang saat ini dimulai. Mereka secara sukarela memberikan bantuan kepada warga Palestina yang terluka yang datang dari Gaza sejak pembukaan sebagian penyeberangan Rafah pada awal November.

Kini, ketika kekhawatiran meningkat bahwa eksodus paksa orang dari Gaza ke Sinai dapat menggusur komunitas lokal, Eldalil berharap pemerintah akan terus membina hubungan antara Kairo dan suku Badui di Sinai. “Faktanya ada masyarakat yang tinggal di Sinai: komunitas Badui, yang juga mempunyai hak untuk tetap tinggal di tanah mereka, sama seperti masyarakat Palestina," ujarnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement