Kamis 30 Nov 2023 20:12 WIB

Bagaimana Israel Penjarakan Ratusan Perempuan dan Anak-Anak Palestina?

Israel menggambarkan warga Palestina yang dipenjara sebagai teroris.

Rep: Lintar Satria/ Red: Friska Yolandha
Aktivis Palestina Ahed Tamimi (tengah) berpelukan dengan kerabatnya setelah tiba di Ramallah, setelah dia dibebaskan dari penjara militer Israel Ofer, Tepi Barat, Kamis (30/11/2023).
Foto: EPA-EFE/Alaa Badarneh
Aktivis Palestina Ahed Tamimi (tengah) berpelukan dengan kerabatnya setelah tiba di Ramallah, setelah dia dibebaskan dari penjara militer Israel Ofer, Tepi Barat, Kamis (30/11/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setelah membebaskan sejumlah tahanan Palestina berdasarkan kesepakatan gencatan senjata dengan Hamas pekan lalu. Israel melarang anggota keluarga merayakan kepulangan mereka.

"Ekspresi kegembiraan sama saja dengan mendukung terorisme," kata Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir, seperti dikutip Aljazirah, Kamis (30/11/2023).

Baca Juga

Israel menggambarkan warga Palestina yang dipenjara sebagai "teroris" dan membuat banyak tahanan mengalami penganiayaan. Namun hampir 80 persen dari 300 perempuan dan anak-anak Palestina yang diidentifikasi akan dibebaskan belum didakwa secara resmi.

Mayoritas tahanan Palestina ditangkap di bawah proses kuasi-peradilan yang dikenal sebagai penahanan administratif, di mana warga Palestina awalnya dipenjara selama enam bulan. Penahanan mereka kemudian dapat diperpanjang berulang kali untuk jangka waktu yang tidak terbatas tanpa dakwaan atau pengadilan.

Sebagian besar warga Palestina, termasuk anak-anak, diadili di pengadilan militer dan dijatuhi hukuman yang panjang dalam apa yang disebut para kritikus sebagai pengadilan militer palsu karena dalam banyak kasus, warga Palestina tidak memiliki pengacara dan proses hukum.

Sementara, Israel mengadili warganya di pengadilan sipil. Hal ini menunjukkan sistem peradilan dua tingkat yang mendiskriminasi warga Palestina.

Sebanyak 233 dari 300 warga Palestina yang masuk dalam daftar orang yang dibebaskan Israel belum dikenai dakwaan secara resmi dan ditahan sebagai tahanan administratif. Mayoritas dari mereka adalah anak-anak. Yang termuda berusia 14 tahun.

Hampir tiga perempat dari mereka berasal dari daerah pendudukan Tepi Barat yang mengalami lonjakan penangkapan sejak dimulainya perang Israel di Gaza pada 7 Oktober. Tahun ini Tepi Barat dan Yerusalem Timur juga mengalami lonjakan penggerebekan Israel bahkan sebelum perang pecah.

Tahanan terlama di antara 300 orang tersebut telah ditahan selama 102 bulan, atau delapan setengah tahun. Tahanan terbaru ditangkap dua bulan lalu.

Hampir setengah dari para tahanan tidak memiliki afiliasi dengan kelompok politik atau kelompok bersenjata Palestina. Sebagian lainnya diyakini berafiliasi dengan Hamas, Fatah, Jihad Islam, Front Populer untuk Pembebasan Palestina, dan Front Demokratik untuk Pembebasan Palestina.

Para tahanan dapat ditahan dalam penahanan administratif tanpa batas waktu. Selama masa penahanan yang bisa berlangsung selama bertahun-tahun, para tahanan, keluarga dan pengacara mereka tidak mengetahui apa yang dituduhkan kepada mereka dan bukti-bukti yang ada terhadap mereka.

Menurut laporan PBB yang dirilis tahun lalu Israel menangkap sekitar 1 juta warga Palestina sejak menduduki Yerusalem Timur, Jalur Gaza, dan Tepi Barat pada tahun 1967. Sejumlah besar dari mereka diyakini sebagai tahanan administratif.

Israel meningkatkan penangkapan sejak serangan Hamas pada 7 Oktober lalu, melipatgandakan jumlah warga Palestina yang ditahan menjadi lebih dari 10 ribu orang sebelum akhirnya membebaskan sebagian dari mereka.

Israel mengklaim serangan mendadak Hamas menewaskan 1.200 orang yang sebagian besar warga sipil. Serangan balasan Israel  ke Gaza telah menewaskan hampir 15 ribu orang, sebagian besar dari mereka adalah perempuan dan anak-anak.

Perjanjian Oslo tahun 1990-an menghasilkan pembentukan Otoritas Palestina (PA), namun lembaga semi-pemerintah yang dijalankan warga Palestina belum mengakhiri sistem peradilan militer Israel. Israel masih menguasai sebagian besar wilayah Tepi Barat dan mengizinkan pembangunan pemukiman ilegal di atas tanah Palestina.

PA dikritik karena bekerja sama dengan Israel dibidang keamanan, dalam kerja sama itu PA berkewajiban untuk berbagi informasi mengenai kelompok-kelompok bersenjata Palestina. PA memiliki hukum pidana dan peradilan, tetapi tiga juta warga Palestina di wilayah pendudukan dapat dengan mudah berada di bawah yurisdiksi pengadilan militer Israel jika mereka dituduh membahayakan keamanan Israel. Hal ini bisa mencakup aktivitas apa pun yang terkait dengan ratusan organisasi Palestina yang dianggap ilegal Israel.

Ketika dakwaan diajukan, mereka biasanya menyertakan kegiatan "teroris", yang bisa mencakup tindakan melawan tentara atau pemukim Israel, dan "penghasutan", yang mencakup mempengaruhi opini publik. Pelanggaran lalu lintas atau berada di Israel secara ilegal untuk bekerja juga membawa warga Palestina ke dalam sistem peradilan militer, yang memiliki tingkat hukuman 99 persen.

Berbeda dengan warga Palestina, pemukim Israel yang ditangkap di Tepi Barat diadili di pengadilan sipil di Israel. Praktik ini pada dasarnya menciptakan dua sistem hukum, yang oleh kelompok-kelompok hak asasi manusia disebut sebagai diskriminatif dan bentuk "apartheid".

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement