Senin 04 Dec 2023 14:22 WIB

Koridor Aman Israel Berubah Jadi Koridor Kematian Bagi Warga Gaza

Tentara Israel menculik sejumlah pria Palestina saat mengungsi ke Selatan Gaza.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nidia Zuraya
Warga Palestina mengungsi ke Jalur Gaza selatan di Jalan Salah al-Din di Bureij, Jalur Gaza, pada Rabu, (8/11/2023).
Foto: AP Photo/Hatem Moussa
Warga Palestina mengungsi ke Jalur Gaza selatan di Jalan Salah al-Din di Bureij, Jalur Gaza, pada Rabu, (8/11/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, DEIR EL-BALAH -- Sudah dua minggu berlalu dan  keluarga al-Samouni masih belum tahu apa yang terjadi pada putra dan saudara laki-laki mereka. Keluarga al-Samouni tinggal di Zeitoun di tenggara Kota Gaza, tempat mereka bertani di lahan seluas 69 dunam (17 hektare) dengan damai.

Namun, sejak hari pertama serangan Israel di Gaza pada 7 Oktober, mereka terpaksa mengungsi ke selatan dan memutuskan untuk mengambil “koridor aman” seperti yang disarankan oleh Israel. Keluarga al-Samouni menyusuri Jalan Salah al-Din, yang merupakan jalan utama yang membentang dari utara-selatan Jalur Gaza. 

Baca Juga

Tapi koridor itu ternyata tidak begitu aman. Keluarga tersebut sedang berjalan di jalan dan berusaha untuk tidak terpaku pada mayat warga Palestina yang tergeletak di jalanan, ketika mereka mencapai sebuah pos pemeriksaan Israel yang baru didirikan. 

Sebelum keluarga tersebut bisa melewati pintu putar, tentara memerintahkan Abdullah al-Samouni (24 tahun) untuk melangkah ke pinggir jalan, tepatnya di parit yang tersembunyi dari pandangan. Adik laki-lakinya, Hamam (16 tahun), mulai memanggil Abdullah hingga tampak putus asa. Para prajurit memerintahkan Hamam untuk bergabung dengan saudaranya.

Kakak laki-lakinya yang tertua, Faraj, seorang petani dan ayah dari enam anak, meneriaki para tentara tersebut. Faraj menanyakan ke mana mereka akan membawa Abdullah dan Hamam. 

Tentara Israel kemudian memerintahkan Faraj untuk bergabung dengan saudara-saudaranya. Anggota keluarga al-Samouni lainnya tidak dapat berbuat apa-apa, mereka hanya berjalan melewati pintu putar sesuai arahan tentara Israel.

“Ketika kami melewati pos pemeriksaan, saya melihat dua pria ditelanjangi hingga hanya mengenakan pakaian dalam di parit dengan nomor tertera di bahu mereka. Ada laki-laki lain, dan saya bisa melihat anak saya, Faraj," kata Zahwa, dilaporkan Aljazirah.

Zeenat, yang merupakan ibu dari Abdullah dan Hamam, mengatakan, dia memberi tahu Palang Merah tentang nama, nomor identitas, dan nomor ponsel Faraj. Namun hari demi hari tidak ada kabar dari mereka.

“Setiap hari yang berlalu bagaikan satu tahun bagi kami. Saya duduk di pintu masuk tenda sambil berharap ada yang mengetahui kabar mereka.  Saya hanya ingin tahu apa yang terjadi pada mereka, apakah mereka baik-baik saja, apakah mereka masih hidup," kata Zeenat.

Zeenat yang merupakan ibu tujuh anak ini pernah tinggal di rumah seorang kerabat, kemudian mencoba tinggal di tempat penampungan sekolah. Namun pengeboman Israel sangat dahsyat. Oleh karena itu, dia mengambil keputusan untuk melewati "koridor aman" sesuai saran tentara Israel yang disebarkan melalui selebaran.

“Kami takut, tapi kami memutuskan untuk mengambil risiko karena kami mengenal orang lain yang berhasil mencapai selatan. Kami berjalan melewati tanah kami dan kami melihat begitu banyak tank Israel di sana dan semua rumah kami hancur," ujar Zeenat.

Zeenat dan keluarganya mengibarkan bendera putih dan tanda pengenal mereka di depan para penembak jitu Israel. “Kami berjalan dengan hati yang hendak melompat ketakutan, mulai dari jam sembilan pagi, saat kami akhirnya sampai di Deir el-Balah, matahari sudah terbenam," kata Zeenat.

Zeenat mengatakan, dia telah melihat anak-anak yang anggota tubuhnya robek di antara mayat-mayat yang bergelimpangan di jalanan. Sementara Zahwa mengatakan, tentara Israel mengancam bahwa, siapa pun yang berhenti berjalan atau menoleh ke belakang akan ditembak.

“Mereka mencemooh kami saat kami melewati pos pemeriksaan. Mereka memaki kami dalam bahasa Arab, menggunakan kata-kata yang paling kotor, dan mengutuk nabi kami Muhammad dan Tuhan kami. Mereka menyebut kami pendukung Hamas, dan berjanji akan menghabisi kami jika kami bergerak ke selatan," ujar Zahwa.

Zahwa menutup wajahnya, ketika mengingat perjalanannya untuk mencari tempat yang aman dari gempuran Israel. Air mata kemudian mengalir di pipinya. Cucu perempuannya, Zahwa yang berusia 10 tahun, mengenang kejadian hari itu.

“Kami sedang berjalan, orang tua saya dan dua saudara laki-laki dan tiga saudara perempuan saya, dan ketika kami sampai di pos pemeriksaan, tentara Israel membawa ayah dan paman saya,” kata Zahwa.

“Ayah saya (Faraj) memegang tangan saya, dan Israel mengambilnya dari saya. Tentara juga mengambil tas yang berisi pakaian kami. (Tas itu) cuma berisi baju, bukan bom atau senjata,” ujar Zahwa.

Zahwa mengatakan, tentara Israel menembak seorang pria di depan mereka dan tidak melakukan apa pun hingga dia mati kehabisan darah. “Pria itu sedang berjalan dalam barisan dan melihat ke belakang. Para prajurit menyuruhnya untuk melihat lurus ke depan, dan ketika dia menoleh, mereka menembak perutnya," katanya.

“Ini bukan koridor yang aman, ini koridor kematian. Itu adalah koridor ketakutan. Mereka membunuh orang, memukuli orang, dan memaksa orang menanggalkan pakaiannya," ujar Zahwa.

Kengerian yang dialami keluarga al-Samouni adalah kejadian terbaru dari serangkaian trauma yang dimulai selama serangan Israel pada 2008-2009, ketika tentara membunuh 48 anggota keluarga mereka dalam Operasi Cast Lead. Tentara telah mengumpulkan beberapa keluarga di bawah satu atap dan menembakkan rudal ke rumah tersebut, hingga menewaskan puluhan orang. 

Beberapa orang berhasil keluar sambil mengibarkan bendera putih. Namun, ketika Palang Merah diberikan izin untuk memasuki gedung tiga hari kemudian, mereka melihat pemandangan mengerikan dari 13 orang yang terluka, termasuk delapan anak-anak, yang kelaparan dan kehausan. Anak-anak itu berada di tengah-tengah jenazah orang tua dan kerabatnya.

Salah satu yang tewas adalah suami Zahwa, Attiya. Putri mereka, Amal, yang merupakan saudara kembar Abdullah, baru berusia delapan tahun saat itu namun mengingat semuanya dengan jelas.

“Pada hari yang dingin pada bulan Januari itu, 100 tentara Israel menggerebek rumah kami dan membunuh ayah saya di depan kami. Mereka mula-mula melemparkan granat ke pintu masuk rumah, membuat kami diselimuti asap," kata Amal.

Para prajurit berteriak dalam bahasa Ibrani agar pemilik rumah maju.  Attiya, yang pernah bekerja sebelumnya di Israel, mengangkat tangannya dan memperkenalkan dirinya.

“Mereka menembaknya di bagian antara mata, lalu di bagian dada. Kemudian mereka terus menembak, memenuhi tubuhnya dengan peluru," ujar Amal.

Sebelumnya, ketika tank-tank mengepung rumah mereka, Attiya telah mengajari anak-anaknya untuk mengatakan dalam bahasa Ibrani “Kami adalah anak-anak”. Namun, hal itu tidak berpengaruh. Israel tetap menargetkan mereka.

“Setelah mereka menembak ayah saya, mereka mulai menembaki kami. Abdullah dan saya sama-sama terluka.  Mereka menyalakan api di salah satu kamar tidur, dan kami tercekik karena asapnya," kata Amal.

Hamam baru berusia satu tahun saat itu.  Saudara laki-laki mereka, Ahmad, yang saat itu berusia empat tahun, ditembak dua kali di kepala dan dada dan dibiarkan mati kehabisan darah hingga fajar keesokan harinya, karena tentara Israel mencegah ambulans mencapai daerah tersebut. Ahmad meninggal di pelukan ibunya, Zahwa. Zahwa telah kehilangan suaminya, putranya, dan rumahnya. Dalam 15 tahun sejak insiden mengerikan itu, keluarga Zahwa harus bekerja dua kali lebih keras untuk membangun kembali kehidupan mereka.

Faraj adalah kepala rumah dan tulang punggung keluarga. Dia adalah seorang petani. Dia membangun rumahnya dengan tangannya sendiri. Faraj adalah sosok yang dapat diandalkan di keluarga mereka.

“Dia adalah pilar yang kami semua andalkan. Dia sangat perhatian, dan dengan adanya dia, kami tidak perlu meminta apa pun," kata Zahwa.

Putri Faraj, Zahwa yang berusia 10 tahun, tidak bisa tidur di malam hari. Dia bertanya-tanya apakah ayahnya sudah meninggal atau masih hidup.

"Aku ingin dia kembali. Dia adalah batu pelindungku, tanpa dia aku bukan apa-apa. Aku rindu memegang tangannya, aku rindu memberinya pelukan," ujar Zahwa. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement