Senin 11 Dec 2023 12:01 WIB

Pemenang Hadiah Nobel Perdamaian: Rakyat Iran akan Menang Melawan Penguasa

Saat ini, Mohammadi masih berada dalam penjara Iran

Rep: Lintar Satria/ Red: Esthi Maharani
Pemenang hadiah Nobel perdamaian Narges Mohammadi saat ini menjalani hukuman 16 tahun penjara di Penjara Evin di Teheran, Iran.
Foto: AP
Pemenang hadiah Nobel perdamaian Narges Mohammadi saat ini menjalani hukuman 16 tahun penjara di Penjara Evin di Teheran, Iran.

REPUBLIKA.CO.ID, OSLO -- Dalam pidato yang dibacakan anak-anaknya, peraih Hadiah Nobel Perdamaian 2023 Narges Mohammadi mengatakan pada akhirnya rakyat Iran akan mengatasi otoritarianisme ketika pemerintah kehilangan legitimasinya dan dukungan publik. Saat ini, Mohammadi masih berada dalam penjara Iran.

Pada Oktober lalu komite Nobel Norwegia mengganjar Mohammadi dengan hadiah Nobel atas perjuangan tanpa kekerasan melawan penindasan terhadap perempuan di Iran. Hadiah ini juga apresiasi atas perjuangan perempuan 51 tahun itu mempromosikan hak asasi manusia.

Baca Juga

Anak kembarnya Kiana dan Ali Rahmani yang berusia 17 tahun menerima hadiah yang berupa medali emas dan sertifikat dalam sebuah upacara penyerahan di Aula Kota Oslo yang dihadiri beberapa ratus tamu. Hadiah itu termasuk cek senilai 11 juta crown Swedia atau sekitar 1 juta dolar AS.

Dalam pidato yang dikirimkan dari penjara Evin, Mohammadi mengatakan, ia akan melanjutkan perjuangan tanpa kekerasan sebagai strategi terbaik dalam membawa perubahan.

"Rakyat Iran, dengan keteguhan, akan mengatasi penindasan dan otoritarianisme, tidak diragukan lagi. Itu sudah pasti," katanya dalam pidato yang dibacakan dalam bahasa Prancis, Ahad (10/12/2023).

Mohammadi dijatuhi beberapa dakwaan termasuk propaganda melawan Republik Islam Iran sejak ia ditangkap pada November 2021 lalu.

"Saya menulis pesan ini dari tembok penjara yang dingin dan tinggi," ujar Mohammadi.

Ia menambahkan kehidupannya dan banyak aktivis lainnya di Iran selalu dalam perjuangan "bertahan hidup." Kehadiran aktivis hak-hak perempuan itu di Oslo disimbolkan dengan fotonya dan kursi kosong, ia salah satu segelintir penerima hadiah Nobel yang dilarang menerima penghargaan yang diberikan sejak 1901 itu.

Hadiah ini diberikan satu tahun setelah Mahsa Amini, perempun Kurdi berusia 22 tahun tewas di tahanan polisi moral Iran karena diduga melanggar peraturan mengenai hijab. Kematian Amini memicu kemarahan rakyat Iran yang sudah dilanda kesulitan ekonomi dan diskriminasi pada etnis minoritas.

Dalam protes itu para perempuan, termasuk para siswi, melepas dan membakar jilbab, menentang undang-undang yang mewajibkan wanita untuk menutupi rambut mereka dan mengenakan pakaian longgar. Pemerintah Iran membubarkan protes nasional itu dengan kekerasan yang mematikan.

"Kami percaya kewajiban berhijab yang diberlakukan pemerintah bukanlah kewajiban agama atau tradisi budaya, tetapi lebih sebagai alat untuk mempertahankan kontrol dan ketundukan di seluruh masyarakat," kata Mohammadi.

Iran menyebut protes tersebut sebagai subversi yang dipimpin Barat.... 

 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement