Pemimpin redaksi Dawei Watch mengatakan sejak militer mengkudeta pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi pada Februari 2021 sudah lima reporter dan seorang kolumnisnya yang ditangkap.
Menurut Reporters Without Borders, Myanmar salah satu negara yang paling banya memenjarakan jurnalis, kedua setelah China. Negara itu juga berada di peringkat terbawah dalam Indeks Kebebasan Pers, yaitu di peringkat 173 dari 180 negara tahun ini.
Menurut para pekerja media di Myanmar yang melacak situasinya, setidaknya 14 media dicabut izinnya dan setidaknya 163 jurnalis ditangkap sejak kudeta, dengan sekitar 49 di antaranya masih ditahan. Lebih dari separuh dari mereka yang masih ditahan telah divonis bersalah dan dijatuhi hukuman.
Sebagian besar jurnalis yang ditahan didakwa dengan tuduhan penghasutan karena diduga menimbulkan ketakutan, menyebarkan berita palsu, atau melakukan agitasi terhadap pegawai pemerintah. Para peneliti mengatakan setidaknya empat pekerja media telah dibunuh dan yang lainnya disiksa selama dalam tahanan.
Sebagian besar media, termasuk Dawei Watch, sekarang beroperasi secara semi sembunyi-sembunyi, menerbitkan daring karena para anggota stafnya berusaha menghindari penangkapan. Yang lainnya beroperasi dari pengasingan.
Bulan lalu, pemerintah militer mengubah undang-undang penyiaran untuk menempatkan Dewan Penyiaran Televisi dan Radio di bawah kendali langsung dewan militer yang berkuasa. Sebelumnya, undang-undang ini memungkinkan dewan tersebut beroperasi secara bebas tanpa pengaruh dari organisasi pemerintah manapun.