REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kehidupan warga Palestina di Gaza tak hanya terancam oleh serangan Israel. Hancurnya tempat tinggal dan fasilitas kesehatan hingga minimnya akses terhadap air bersih juga membuat mereka kini rentan terkena penyakit.
Seorang dokter yang bekerja di rumah sakit di wilayah Khan Younis, Gaza, dr Magdi Jamal, mengatakan rumah sakit tempatnya bekerja kini menangani pasien dengan jumlah tiga kali lipat lebih besar dari kapasitas normal yang bisa mereka tangani. Tak sedikit pasien cedera akibat serangan udara yang harus diobati di lantai ruang UGD.
"Situasinya sangat mengerikan," ujar dr Jamal yang bekerja di rumah sakit di wilayah Khan Younis, Gaza, dilansir laman Metro pada Selasa (19/12/2023).
Dr Jamal juga mengungkapkan saat ini ada semakin banyak warga Gaza yang jatuh sakit akibat beragam penyakit. Kelompok yang paling rentan terkena sakit adalah anak-anak dan lansia.
Salah satu penyakit yang paling banyak dialami warga Gaza saat ini adalah gastroenteritis akut atau muntaber, infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), serta skabies atau kudis. Diare juga mengalami lonjakan yang sangat signifikan di antara warga Gaza.
Selama November, ada lebih dari 30 ribu kasus diare yang ditemukan di Gaza. Kasus diare ini umumnya menyerang anak-anak berusia di bawah lima tahun. Sebagai perbandingan, kasus diare pada balita di Gaza biasanya hanya terjadi sekitar 2.000 kasus per bulan.
"(Diare) bisa disebabkan oleh bakteri, virus, parasit," jelas dosen senior di bidang genomik dan penyakit menular dari University of Westminster, dr Manal Mohammed.
Di sisi lain, dr Mohammed juga menyoroti kasus cedera atau luka akibat bom hingga serpihan bangunan yang dialami oleh warga Gaza. Dalam situasi perang, dr Mohammed mengungkapkan luka seperti ini bisa dengan mudah terinfeksi oleh bakteri yang resisten obat.
Dr Mohammed juga mengungkapkan, ketersediaan vaksin untuk anak menjadi sangat sulit setelah 7 Oktober 2023. Kondisi ini dapat memicu timbulnya wabah-wabah penyakit yang mengancam kesehatan warga Gaza.
"Wabah-wabah dari penyakit yang sebenarnya bisa dicegah oleh vaksin kemungkinan akan meningkat, seperti campak, Covid-19, gondok, difteri, tetanus, pertusis, rubella, dan TB," ujar dr Mohammed.
Dr Jamal mengatakan, sebagian warga Gaza yang mengungsi ke Khan Younis juga mengidap penyakit tidak menular seperti diabetes, hipertensi, dan skabies. Penyakit-penyakit ini sebenarnya dapat dikelola dengan obat-obatan. Namun akses terhadap obat yang sangat terbatas membuat kondisi warga Gaza yang mengidap penyakit tidak menular jadi memburuk.
"Sebagian besar dari mereka (warga Gaza yang mengungsi ke Khan Younis) yang datang dengan penyakit berat akan meninggal dunia karena minimnya obat-obatan dan tertundanya intervensi medis," kata dr Jamal.
Besarnya jumlah korban tewas di Gaza juga membuat praktik penguburan massal menjadi hal yang sering dilakukan. Keberadaan kuburan massal ini dapat menjadi sumber masalah kesehatan tersendiri bagi warga Gaza. Terlebih, banyak warga Gaza yang melakukan proses penguburan massal ini tanpa alat pelindung diri.
"(Cairan yang keluar dari tubuh jenazah) dapat menjadi tempat yang sangat baik bagi (berkembangnya) penyakit vector borne," ujar dr Mohammed.
Tak hanya itu, dr Mohammed juga menyoroti masalah ketersedian air bersih di Gaza. Menurut Mohammed, warga Gaza yang selamat dari serangan bom Israel mungkin akan meninggal dunia akibat mengonsumsi air yang terkontaminasi.
"Perang adalah pemicu pembesaran penyakit. Perang juga dapat memicu wabah atau bahkan pandemi, karena pengungsi (dari wilayah perang) bisa membawa penyakit ke tempat lain," ujar dr Mohammed.