REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA – Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus menyoroti kian merosotnya kondisi sistem kesehatan di Jalur Gaza. Dia pun mengkritisi tak adanya efek dari resolusi Dewan Keamanan PBB yang menyerukan agar bantuan kemanusiaan dapat segera dialirkan ke wilayah tersebut.
Ghebreyesus mengungkapkan, resolusi Dewan Keamanan PBB tentang pengiriman bantuan kemanusiaan ke Gaza yang diadopsi pekan lalu, telah membuka harapan bahwa paket bantuan akan segera masuk ke Gaza. “Namun, berdasarkan laporan saksi mata WHO di lapangan, tragisnya resolusi tersebut belum memberikan dampak,” ujarnya, dikutip laman Middle East Monitor, Jumat (29/12/2023).
Dia menambahkan, tugas yang diemban tim WHO di Gaza pun kian sukar. “Kemampuan WHO untuk memasok obat-obatan, pasokan medis, dan bahan bakar ke rumah sakit-rumah sakit semakin terhambat oleh kelaparan serta keputusasaan orang-orang dalam perjalanan menuju, dan di dalam, rumah sakit yang kita capai,” kata Ghebreyesus.
Menurut WHO, saat ini sistem layanan kesehatan di Gaza sudah sangat kritis. Terdapat 21 rumah sakit di sana yang sudah tak beroperasi. Sebanyak 13 rumah sakit berfungsi sebagian. Sementara itu, dua rumah sakit lainnya hanya berfungsi minim. “Apa yang sangat kita perlukan saat ini adalah gencatan senjata untuk menyelamatkan warga sipil dari kekerasan lebih lanjut dan memulai jalan panjang menuju rekonstruksi dan perdamaian,” ungkap Ghebreyesus.
Pada 22 Desember 2023 lalu, Dewan Keamanan PBB mengadopsi resolusi tentang percepatan pengiriman bantuan kemanusiaan ke Gaza. Dari 15 negara anggota Dewan Keamanan, sebanyak 13 negara mendukung rancangan resolusi tersebut. Dua negara lainnya, yakni Amerika Serikat (AS) dan Rusia memilih abstain.
Namun dalam resolusi tersebut tak ada seruan tentang gencatan senjata atau penghentian pertempuran antara Hamas dan Israel. Sekretaris Jenderal Liga Arab Ahmed Aboul Gheit mengatakan, resolusi tentang pengiriman bantuan kemanusiaan yang diadopsi Dewan Keamanan PBB terlambat. Selain itu, dia menilai resolusi tersebut pun masih jauh dari apa yang diharapkan, yakni gencatan senjata total.
“Resolusi 2272 yang diadopsi kemarin, Jumat (22 Desember 2023), merupakan upaya untuk mencegah kelaparan di Jalur Gaza dan menyelamatkan masyarakat, terutama perempuan dan anak-anak, dari situasi bencana. Namun resolusi itu tidak cukup untuk menghentikan mesin perang Israel, apalagi resolusi tidak mencakup gencatan senjata,” kata Aboul Gheit dalam sebuah pernyataan, dikutip laman kantor berita Palestina, WAFA, Sabtu (23/12/2023).
Dia mengungkapkan Resolusi 2272 diadopsi setelah adanya beberapa kali penundaan atas permintaan Israel. Aboul Gheit menekankan, yang dibutuhkan penduduk Gaza bukan hanya bantuan kemanusiaan, tapi juga perlindungan dari gempuran dan pengeboman terus menerus oleh Israel.
“Setiap langkah untuk meringankan penderitaan warga sipil di Gaza berada pada arah yang benar, namun mengatasi bencana kemanusiaan tidak dapat dicapai melalui tindakan parsial atau paliatif untuk meredam kemarahan opini publik dunia atas apa yang terjadi di Gaza,” ucap Aboul Gheit.
Aboul Gheit menegaskan, menolak gencatan senjata segera sama saja dengan mengizinkan pembunuhan terus berlangsung di Gaza. Hingga berita ini ditulis, jumlah warga Gaza yang terbunuh akibat agresi Israel telah mencapai sedikitnya 21.300 jiwa. Sementara korban luka melampaui 52 ribu orang. Jumlah itu dihitung sejak Israel memulai agresinya ke Gaza pada 7 Oktober 2023.