Jumat 29 Dec 2023 22:00 WIB

Mantan Pejabat Keamanan dan Politik Israel Terkesima dengan Hamas

Hamas disebut pasukan yang kuat dan punya kesiapan tempur sehingga tak bisa dihapus.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Lida Puspaningtyas
 Seorang juru bicara bertopeng berbicara selama latihan militer yang dilakukan oleh kelompok-kelompok bersenjata di Selatan Kota Gaza, 29 Desember 2020. Pejuang brigade Al-Qassam, sayap militer Hamas dan gerakan Jihad Islam termasuk di antara 12 kelompok militan yang mengadakan pertempuran pertama. pernah latihan militer gabungan di Kota Gaza yang mencakup peluncuran roket ke Laut Mediterania, latihan darat dan laut.
Foto: EPA-EFE/HAITHAM IMAD
Seorang juru bicara bertopeng berbicara selama latihan militer yang dilakukan oleh kelompok-kelompok bersenjata di Selatan Kota Gaza, 29 Desember 2020. Pejuang brigade Al-Qassam, sayap militer Hamas dan gerakan Jihad Islam termasuk di antara 12 kelompok militan yang mengadakan pertempuran pertama. pernah latihan militer gabungan di Kota Gaza yang mencakup peluncuran roket ke Laut Mediterania, latihan darat dan laut.

REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV – Sejumlah mantan pejabat politik dan keamanan Israel telah memuji perlawanan yang ditunjukkan Hamas di Jalur Gaza. Mereka tak menduga bahwa perang yang kini berlangsung di Jalur Gaza harus berlangsung selama hampir tiga bulan.

Mantan kepala badan intelijen Israel, Mossad, Yosi Cohen, mengatakan, Hamas telah menunjukkan bahwa mereka siap menghadapi peperangan melawan Israel. Hal itu dibuktikan dengan masih belum berhasilnya Israel mengontrol Jalur Gaza sejak pecahnya pertempuran pada 7 Oktober 2023.

Baca Juga

Cohen mengungkapkan, Hamas sudah mempersiapkan perang yang saat ini tengah berlangsung di Gaza selama bertahun-tahun. Hamas, tambahnya, telah membangun terowongan bawah tanah di Gaza yang panjangnya diduga mencapai ratusan kilometer.

“Tapi sebuah kota bawah tanah, dengan bunker yang dalam dan panjang, dengan pengaturan logistik yang memungkinkan adanya kehidupan bawah tanah yang lebih besar dari yang kita duga. Kami berjuang di atas dan mereka tetap di bawah,” kata Cohen, dikutip laman Middle East Monitor, Jumat (29/12/2023).

Kendati demikian, Cohen menentang gencatan senjata di Gaza. Dia menekankan bahwa satu-satunya cara untuk mencapai kesepakatan untuk membebaskan orang-orang yang ditawan Hamas adalah dengan melanjutkan peperangan.

Cohen pun mengomentari tentang proyeksi pasca berakhirnya perang di Gaza. Menurutnya, harus ada sesuatu yang dibentuk atau dibangun, tapi bukan sepenuhnya menjadi tanggung jawab Israel.

“Kita perlu membangun semacam koalisi Arab dan kemudian koalisi internasional yang lebih luas, yang akan mengambil tanggung jawab, seperti yang mereka lakukan terhadap negara-negara pengungsi dan zona perang lainnya,” ucapnya.

“Mari kita duduk di ruangan yang sama dengan Amerika Serikat, Jepang, India, Tiongkok, Uni Emirat Arab, Mesir, Arab Saudi dan lainnya, dan kita katakan kepada mereka: Teman-teman terkasih, kami mengumumkan bahwa kami akan memisahkan diri dari kawasan ini, dan kali ini dengan serius,” tambah Cohen.

Sebelumnya mantan kepala Dewan Keamanan Nasional Israel, Mayor Jenderal (Purnawirawan) Giora Eiland juga memuji perlawanan yang ditunjukkan Hamas dalam pertempuran di Jalur Gaza. Menurutnya, Hamas telah membuktikan kemampuan militernya, termasuk tekad politiknya untuk mempertahankan Gaza.

“Dari sudut pandang profesional, saya harus menghargai ketahanan mereka. Saya tidak melihat tanda-tanda runtuhnya kemampuan militer Hamas maupun kekuatan politik mereka untuk terus memimpin Gaza,” kata Eiland dalam sebuah artikel yang diterbitkan New York Times, Rabu (27/12/2023).

New York Times turut mengutip Michael Milshtein, mantan perwira senior intelijen Israel. Milshtein mengkritik pernyataan beberapa pemimpin Israel yang menggambarkan Hamas sudah berada di titik nadir.

“Mereka sudah lama mengatakan bahwa Hamas sedang runtuh. Tapi itu tidak benar. Setiap hari, kita menghadapi pertempuran yang sulit,” ujarnya.

Dalam laporannya, New York Times juga mengutip penjelasan dari beberapa analis militer Amerika Serikat. Mereka menilai, hasil terbaik bagi Israel untuk pertempuran yang sedang berlangsung di Gaza saat ini adalah melemahkan kemampuan militer Hamas agar kelompok tersebut tak bisa lagi melancarkan serangan dan operasi infiltrasi seperti 7 Oktober 2023.

Kendati demikian, para analis tersebut berpendapat, hanya untuk mencapai tujuan itu, Israel pun dipandang harus mengerahkan upaya luar biasa.

“Hamas berakar pada ideologi bahwa kendali Israel atas wilayah yang mereka anggap sebagai tanah Palestina harus ditentang dengan kekerasan, sebuah prinsip yang mungkin akan bertahan lama” kata para analis.

Pekan lalu Mantan perdana menteri Israel, Ehud Olmert, mengatakan, perang yang saat ini dilancarkan negaranya di Gaza dengan tujuan menghancurkan dan menumpas habis Hamas tidak akan berhasil. Dia menilai, janji yang diumbar Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu tentang penghancuran total Hamas sebagai sebuah kecongkakan.

“Gaza sedang terpuruk, ribuan warganya menderita dengan nyawa mereka, ribuan pejuang Hamas dengan senang hati terbunuh, namun kehancuran Hamas tidak akan tercapai,” kata Olmert dalam opininya yang dimuat di surat kabar Israel, Haaretz, 22 Desember 2023 lalu.

Dia berpendapat, walaupun pada akhirnya Israel berhasil menangkap atau membunuh para pemimpin Hamas, kelompok tersebut tidak akan pernah bisa lenyap.

“Kelompok ini akan terus ada di pinggir Gaza,” ujarnya.

“Mengingat ini adalah penilaian situasi yang sebenarnya, kita harus bersiap untuk perubahan arah. Saya tahu ini mungkin tidak populer. Dalam suasana hasutan, keberanian dan arogansi yang menjadi ciri perilaku pemerintah dan pemimpinnya, kita tidak boleh segan-segan mengatakan hal-hal yang tidak jelas namun perlu, demi rasa tanggung jawab nasional,” tambah Olmert.

Menurut Olmert, saat ini Israel menghadapi dua pilihan, yakni gencatan senjata dengan kesepakatan yang dapat memulangkan para sandera atau gencatan senjata tanpa kesepakatan pemulangan para sandera.

“Penghentian permusuhan ini akan dipaksakan kepada kita oleh sekutu terdekat kita, yang dipimpin oleh Amerika Serikat, Inggris, Perancis dan Jerman. Mereka tidak lagi mampu menanggung akibat yang harus mereka bayarkan dalam opini publik mengingat kesenjangan antara tidak adanya resolusi militer dan berlanjutnya pertempuran yang menimbulkan kerugian kemanusiaan, yang konsekuensinya tidak akan mereka tanggung,” ucapnya.

Hingga saat ini pertempuran masih berlangsung di Gaza. Lebih dari 21.300 ribu warga Gaza telah terbunuh sejak Israel memulai agresinya pada 7 Oktober 2023 lalu. Sementara korban luka sudah melampaui 55 ribu orang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement