REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV – Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant, pada Kamis (4/1/2024), telah merilis rencana negaranya untuk Jalur Gaza pascaperang dengan Hamas berakhir. Dalam rencana itu, Israel tidak akan menduduki dan memerintah Gaza. Namun Israel pun menolak Hamas memimpin kembali wilayah tersebut.
Berdasarkan rencana Gallant, perang yang saat ini masih berlangsung di Gaza akan dilanjutkan hingga Israel berhasil membebaskan orang-orang yang disandera Hamas. Israel pun ingin menghancurkan kemampuan militer dan pemerintahan Hamas di Gaza guna menciptakan fase baru. "Hamas tidak akan mengendalikan Gaza dan tidak akan menimbulkan ancaman keamanan bagi warga Israel,” kata Gallant dalam rencananya, dikutip laman TRT World.
Dalam rencana Gallant, badan-badan Palestina akan mengambil alih pemerintahan di Jalur Gaza. Namun tak disebutkan secara eksplisit badan apa saja yang bakal mengemban tugas tersebut. “Penduduk Gaza adalah warga Palestina, oleh karena itu badan-badan Palestina akan bertanggung jawab, dengan syarat tidak akan ada tindakan permusuhan atau ancaman terhadap negara Israel,” ungkapnya.
Dalam rencana yang disusun Gallant, ketika nanti perang dengan Hamas usai, militer Israel akan memiliki hak untuk beroperasi di Gaza. “(Namun) tidak akan ada kehadiran warga sipil Israel di Jalur Gaza setelah tujuan perang tercapai,” ucapnya.
Selama beberapa pekan terakhir, pemerintahan Israel sudah menghadapi perpecahan untuk menentukan masa depan Gaza pasca berakhirnya perang dengan Hamas. Awal pekan ini, Menteri Keamanan Nasional Israel Itamar Ben-Gvir dan Menteri Keuangan Israel Bezalel Smotrich membuat pernyataan yang menganjurkan agar warga Palestina di Gaza dimukimkan kembali di luar wilayah tersebut.
Smotrich berpendapat, hal itu akan membantu Israel mengendalikan Gaza secara militer. Ia juga mendorong agar warga Gaza dipindahkan ke negara lain atau negara ketiga. “Jika kita bertindak dengan cara yang benar secara strategis dan mendorong emigrasi, jika ada 100 atau 200 ribu orang Arab di Gaza dan bukan dua juta, keseluruhan wacana setelah (berakhirnya) perang (dengan Hamas saat ini) akan sangat berbeda,” ucapnya.
Pernyataan Smotrich digemakan oleh Ben-Gvir. “Kita harus mempromosikan solusi untuk mendorong emigrasi penduduk Gaza,” ujar Ben-Gvir yang dikenal sebagai tokoh sayap kanan anti-Arab.
Amerika Serikat (AS) selaku sekutu utama Israel mengkritik keras usulan Smotrich dan Ben-Gvir terkait pemindahan warga Gaza ke negara ketiga. “AS menolak pernyataan Menteri Israel Smotrich dan Ben-Gvir yang menghasut serta tidak bertanggung jawab. Seharusnya tidak ada pengungsian massal warga Palestina dari Gaza,” kata Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS Matthew Miller lewat akun X resminya, Rabu (3/1/2024) lalu.
Dia menegaskan, AS akan tetap memandang Gaza sebagai bagian dari wilayah Palestina. Namun Washington memang menolak Hamas kembali memerintah di wilayah tersebut. “Kami sudah jelas, konsisten, dan tegas bahwa Gaza adalah tanah Palestina dan akan tetap menjadi tanah Palestina, dengan Hamas tidak lagi mengendalikan masa depannya serta tidak ada kelompok teror yang dapat mengancam Israel,” ucap Miller.
“Itu adalah masa depan yang kami cari, demi kepentingan Israel dan Palestina, kawasan sekitarnya, dan dunia,” tambah Miller. Belanda dan Jerman pun menolak keras gagasan pengusiran warga Gaza.
“Belanda menolak seruan apa pun agar warga Palestina diusir dari Gaza atau pengurangan wilayah Palestina. Hal ini tidak sesuai dengan solusi dua negara di masa depan, yaitu negara Palestina yang bisa hidup berdampingan dengan Israel yang aman,” kata Kemenlu Belanda dalam sebuah pernyataan, Rabu lalu, dikutip Anadolu Agency.
Jerman menyatakan hal serupa dengan Belanda. “Posisi kami jelas: tidak boleh ada pengusiran atau pengurangan wilayah Jalur Gaza,” kata seorang juru bicara Kemenlu Jerman dikutip laman kantor berita Palestina, WAFA, Rabu lalu.
Jubir Kemenlu Jerman itu menambahkan, negaranya menolak dalam istilah paling kuat, pernyataan yang dibuat Ben-Gvir dan Smotrich tentang pengusiran warga Gaza ke negara lain. Dia menegaskan, Jerman meyakini solusi dua negara adalah satu-satunya cara untuk menyelesaikan konflik Israel-Palestina.