REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING – Pemerintah Cina mewaspadai potensi kemenangan Lai Ching-te dalam pemilihan presiden (pilpres) Taiwan yang diagendakan digelar Sabtu (13/1/2024). Beijing memperingatkan warga Taiwan bahwa kemenangan Lai akan menimbulkan bahaya besar bagi hubungan lintas selat.
Menjelang penyelenggaraan pilpres, hasil jajak pendapat menunjukkan bahwa mayoritas warga Taiwan tampaknya mendukung Lai dari Partai Progresif Demokratik (DPP) yang berkuasa. Merespons hal tersebut, Kantor Urusan Taiwan Cina mengatakan, mereka berharap sebagian besar warga Taiwan tidak membiarkan Lai dan DPP memenangkan pemilu.
“Jika dia (Lai) berkuasa, dia akan lebih mendorong kegiatan separatis 'kemerdekaan Taiwan' dan menciptakan turbulensi di Selat Taiwan,” kata Kantor Urusan Taiwan Cina dalam sebuah pernyataan pada Kamis (11/1/2024), dilaporkan kantor berita Xinhua.
“Ketika hubungan lintas selat berada di persimpangan jalan, kami berharap mereka akan membuat pilihan yang tepat dan bersama-sama menciptakan format baru untuk kemakmuran dan pembangunan lintas selat,” tambah Kantor Urusan Taiwan Cina.
Lai sendiri telah menuduh Cina berusaha melemahkan pilpres Taiwan. Pekan lalu, Kepala Kantor Urusan Taiwan Cina Song Tao menyerukan masyarakat Taiwan agar mendorong proses reunifikasi damai. Dia mengklaim hal itu merupakan keinginan bersama dari rakyat di Taiwan dan Cina daratan.
“Tanah air pada akhirnya akan bersatu kembali, dan pasti akan bersatu kembali. Ini adalah keinginan dan misi bersama masyarakat di kedua sisi Selat Taiwan,” kata Song dalam pesan Tahun Baru-nya yang dirilis kantornya pada Selasa (2/1/2024).
Dia mengungkapkan, masyarakat Taiwan harus meningkatkan hubungan lintas selat agar kembali ke jalur pembangunan damai yang benar. “Serta mendorong proses reunifikasi tanah air secara damai,” ucapnya.
Song menegaskan kembali dukungan Cina terhadap prinsip “satu negara, dua sistem”. Dia pun menekankan bahwa Beijing menolak kemerdekaan formal Taiwan dan upaya intervensi asing atas isu tersebut.
Cina mengklaim Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya. Namun Taiwan berulang kali menyatakan bahwa ia adalah negara merdeka dengan nama Republik Cina. Taiwan selalu menyebut, Beijing tidak pernah memerintahnya dan tak berhak berbicara atas namanya.
Situasi itu membuat hubungan kedua belah pihak dibekap ketegangan dan berpeluang memicu konfrontasi. Amerika Serikat (AS) merupakan negara yang aktif menyuarakan dukungan terhadap Taiwan.
Meski mengakui prinsip “Satu Cina”, Washington tetap memberikan bantuan kepada Taipei. Pada 28 Juli 2023 lalu AS mengumumkan akan memberikan bantuan militer sebesar 345 juta dolar atau setara Rp 5,2 triliun untuk Taiwan. Paket tersebut merupakan tambahan dari hampir 19 miliar dolar AS penjualan jet tempur F-16 dan sistem senjata utama lainnya yang telah disetujui Washington untuk Taipei.
Dalam wawancara dengan Associated Press awal 2023 lalu, Wakil Menteri Pertahanan AS Kathleen Hicks mengungkapkan, memasok persenjataan ke Taiwan sebelum pecahnya konflik adalah salah satu pelajaran yang diambil Washington dari serangan Rusia ke Ukraina. “Ukraina lebih merupakan pendekatan awal yang dingin daripada pendekatan terencana yang telah kami kerjakan untuk Taiwan, dan kami akan menerapkan pelajaran itu,” ucapnya.