Jumat 12 Jan 2024 14:36 WIB

Blokade Houthi di Laut Merah, Pengamat Maritim Sarankan Langkah Strategis untuk Indonesia

Houthi berjanji akan terus sabotase kapal milik Zionis Israel di Laut Merah

Foto selebaran yang disediakan oleh pusat media Houthi menunjukkan helikopter yang dioperasikan Houthi terbang di atas kapal kargo Galaxy Leader di Laut Merah lepas pantai Hodeidah, (20/11/2023).
Foto: EPA-EFE/HOUTHIS MEDIA CENTER
Foto selebaran yang disediakan oleh pusat media Houthi menunjukkan helikopter yang dioperasikan Houthi terbang di atas kapal kargo Galaxy Leader di Laut Merah lepas pantai Hodeidah, (20/11/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Agresi Israel ke Gaza Palestina yang telah berlangsung sejak 7 Oktober 2023 lalu berefek luas. 

Kelompok Houthi Yaman, sebagai bentuk solidaritas terhadap perjuangan Palestina, menyerang kapal-kapal milik Israel atau yang mendukung tindakan Israel dan sedang bernavigasi di seputaran Laut Merah. 

Baca Juga

Kondisi tersebut disikapi oleh Amerika Serikat (sekutu terdekat Israel), dengan membentuk satgas untuk mengamankan Laut Merah dari serangan Houthi.

Menanggapi situasi tersebut, pengamat maritim dari Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas Strategic Center (IKAL SC), DR  Marcellus Hakeng Jayawibawa, SSiT, MMar mengatakan apapun bentuk tindak serangan dari kelompok Houthi tidak dapat dibenarkan, apalagi hal tersebut dilakukan di jalur pelayaran internasional. 

“Serangan Houthi menjadi ancaman serius bagi perdagangan bebas internasional dan keamanan maritim. Bisa dibayangkan kalau tindakan tersebut kemudian ditiru kelompok-kelompok lainnya di seluruh dunia?” kata Marcellus Hakeng atau biasa dipanggil Capt Hakeng dalam keterangan pers kepada media, Jumat  (12/1/2024) di Jakarta.

Dia menyebut tindakan ilegal dari Houthi ini membahayakan  kapal-kapal dan tentu saja mengancam ribuan nyawa pelaut  dengan konflik kedua negara tersebut, bahkan pemilik kapal akan mengalami kerugian yang besar bila kapal tersebut sampai hancur. 

Menurut Capt Hakeng, pihak asuransi sendiri dalam pengamatannya telah menaikkan premi asuransi bagi kapal-kapal yang hendak melewati wilayah tersebut sebagai imbas ketegangan yang meningkat. 

“Di lain pihak, patut diduga pihak perusahaan pelayaran akan mengalami kesulitan dalam melakukan klaim asuransi karena situasi force majeure (overmacht) yang terjadi,” sambung Capt Hakeng. 

Capt Hakeng menjelaskan, apabila Laut Merah terblokade dalam waktu lama, pelayaran yang melalui Terusan Suez akan ikut terganggu. Saat ini saja sudah sekitar 35 persen dari pelayaran berbendera Amerika Serikat yang mengalihkan pelayarannya.

Banyak perusahaan pelayaran komersial telah mengalihkan operasi mereka, dengan membuat kapal-kapal mereka menjauhi Laut Merah dan aksesnya ke Laut Tengah melalui Terusan Suez.

Bahkan sudah banyak Perusahaan pelayaran yang memutuskan kapal-kapalnya tersebut untuk memutar dan menggunakan jalur yang semakin jauh yaitu melalui Tanjung Harapan di ujung Selatan Afrika.  

Akibat dari rute perjalanan yang semakin jauh maka mempengaruhi pula terhadap waktu perjalanan pelayaran serta konsumsi bahan bakar kapal-kapal angkutan kargo dan angkutan lain tersebut. Selain itu rute pelayaran yang semakin jauh akan mempengaruhi biaya angkutan logistik, 

“Dimana Eropa dan Negara-Negara di Mediterania akan menanggung dampak paling parah. Begitu juga dengan perdagangan ke Asia akan merasakan imbasnya imbuh Capt Hakeng.  

Mengutip dari The Global Trade Research Initiative memperkirakan dampak ekonomi perubahan rute pelayaran tersebut akan meningkatkan biaya pelayaran sekitar 40-60 persen.

Baca juga: 5 Pilihan Doa Ini Bisa Jadi Munajat kepada Allah SWT Perlancar Rezeki

Kemudian kenaikan biaya asuransi 15-20 persen, dan ada potensi rusak sebagian atau seluruh kargo yang dibawanya akibat rute pelayaran yag berubah. Perusahaan ekspedisi raksasa Maersk dan CMA CGM misalnya, mereka akan mengenakan biaya tambahan terkait pengalihan rute kapal. 

“Situasi itu tentu juga ikut mempengaruhi harga minyak dan gas di pasaran Internasional. Misal Harga Minyak mentah berjangka Brent pada akhir Desember lalu naik 92 sen, atau 1,2 persen, menjadi 80,31 dolar AS per barel pada 1445 GMT. Pasokan barang pangan juga ikut terpengaruh akibat konflik di Laut Merah tersebut,” sebut Capt Hakeng.

Dia menilai terhambat atau berkurangnya...

 

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement